Penulis tanpa
Pena
Wahyu
Budi Nugroho
Penulis.
Tanpa disadari terminus tersebut telah mengalami pergeseran dari waktu ke
waktu. Mungkin, di era de Sade dan
Defoe, penulis benar-benar mereka yang menulis dengan penanya. Namun tatkala
beberapa abad kemudian kita masuki era Sartre, Hemingway, atau Carson; penulis
tak lagi menulis dengan pena, melainkan mesin tik. Tentu, kita masih ingat
potret apik Hemingway yang tengah mengetik sambil berdiri, potret itu seolah menjadikan
mesin tik identitas utama para penulis di eranya, tak lagi pena. Kini, tak lagi
pena atau mesin tik, tetapi laptop. Rowling, Brown, dan Meyer dengan piawai
memainkan jemarinya di permukaan keyboard, merangkai acak huruf menjadi kata, memintal
kata menjadi kalimat yang menyihir, dan seterusnya. Masihkah mereka menjadi,
atau…, disebut sebagai seorang penulis?.
Kita luput
dari permainan kata yang memiliki dunianya sendiri, hukum-hukumnya sendiri. Nyatanya,
tajam nalar manusia silap oleh perdaya bahasa yang bermain sangat halus. Bahasa
menjadi lebih politis ketimbang manusia, bahkan dari politik itu sendiri. Senyap
tapi pasti, bahasa menjadi satu instrumen yang mampu terus bercokol dan
langgeng dari perubahan-perubahan di luar sana. Tak peduli mesin tik telah
ditemukan atau laptop telah diciptakan; mereka yang merangkai cerita melaluinya
ajeg dikatai penulis, bukan pengetik. Jika mereka benar-benar penulis, kita pun
berhak bertanya, “Eh, dimana pena dan kertasmu?”. Sayangnya, mereka tak lagi
menjadi seorang penulis, melainkan PENGARANG.
krenn..
BalasHapus