Minggu, 10 Agustus 2014

Andy Warhol dan Eksentrisme Budaya Pop

Andy Warhol dan Eksentrisme Budaya Pop
Wahyu | Budi | Nugroho


“Dalam lima belas menit, semua orang akan terkenal.”
[Andy Warhol]

Seni yang tak elit, ini kurang-lebih yang kutangkap dari karya-karya si Warhol. Bagaimana jika, seni ada dimanapun, dan bisa diakses siapapun. “Akses” di sini tak berarti membeli, cukup orang mampu berkomentar tentangnya, maka ia punya akses atasnya; lebih bagus lagi jika bisa menyaksikannya secara langsung. Kita tak mau muluk-muluk bicara seni tinggi seperti Madonna of The Rocks-nya Raphael. Tuh kan, salah! Madonna of The Rocks karya da Vinci!. Eh, apa beda gurat lukis antara da Vinci, Raphael, dan Michaelangelo? Aku sendiri tak tahu; judul masing-masing karya mereka saja kerap tertukar, apalagi berkomentar [?]. Ini beda kala kulihat gambar sablon warna-warni yang begitu mencolok nan cukup kontras, “Warholisme!”, setidaknya, itu yang bisa kuteriakkan, tak peduli cover album Hot Space superband Queen awal tahun 80-an dikreasi oleh Warhol ataukah tidak, tapi jelas, itu warholisme.


Warhol memang dikenal mpunya budaya pop, itu tersemat sejak dekade 50-an. Ia mengangkat hal-hal remeh dalam karyanya, bagaimana botol kosong Coca-cola yang biasa kita temui di keseharian menjadi citra yang menyenangkan, unik-eksentrik, lagi menyita perhatian. Andy Warhol memang kurang ajar, ia seperti mengolok-olok publik, melecehkan dimensi estetis mereka, juga persepsi khalayak luas tentang bagaimana sebuah karya seni harusnya dibuat; tak ada lagi keagungan dan kemurnian, pun proses yang berlama-lama. Baginya, karena dunia telah berputar demikian cepatnya, maka segala sesuatunya sarat serba ringkas dan instan. Apresiasi tak butuh waktu lama, cukup mengerti, tahu, dan tersenyum; selesai. Bukankah memang itu tujuan dari seni?. Dalam konteks ini, “ekspose karya” menjadi urgen, persetan walau hanya 1-2 menit, yang terpenting telah ada manusia yang melihatnya, pun walau hanya 1-2 orang. Mengapa? Karena sebuah karya ibarat makhluk dan bukan Tuhan yang mampu berdiri sendiri; hanya publik-lah (baca: manusia lain) yang dapat “meresmikan” lahirnya sebuah karya. Dengan begitu, “pengumuman karya kepada dunia” menjadi tak kalah penting, kecepatan dan kemasifannya inilah yang kemudian menjadikannya BUDAYA POP; pop, populer secara sekejap.

[Budaya pop]
Tentu, di sini kita hendak mengesampingkan asketisme dalam berkarya, bahkan menginjaknya!. Warhol membuat kita berpikir bahwa penulis atau pelukis yang dengan alim lagi rendah hati menyimpan secara rahasia karya-karyanya hingga menunggu ditemukan orang lain dan mendunia; menjadi sangat konyol. Dalam dunia serba chaos sebagaimana ter-representasi lewat lukisan-lukisan impresionisme Pollock yang hidup sezaman dengan Warhol, eksistensi menjadi penting, eksistensi nantinya menjadi simbol, dan simbol inilah yang kemudian menjadi sarana dialog antarmanusia lintas bangsa, budaya, dan bahasa. Lewat “keberadaan” itulah pikir Warhol, dunia bakal mengetahui semarak keberagamannya, dengan demikian, dunia bakal lebih siap dan toleran menerima perbedaan. Bisa jadi, seni Warhol dikata sebagai “pemerkosaan visual” lewat sudut pandang baudrillardian karena kesannya yang terburu-buru dan terlampau cepat; timbul dan tenggelam begitu saja.

Lebih jauh, hal di atas dapat dimisalkan lewat salah satu episode kartun SpongeBob, di mana SpongeBob dijauhi orang-orang karena nafasnya sangat bau—sedang ia menyangka karena buruk rupa, kemudian Patrick mempertontonkan SpongeBob kemanapun sembari berteriak, “Lihat…! Dia memang jelek!”. Apa yang diniatkan Patrick sesungguhnya sangat baik, agar orang-orang “tak kaget” dengan kejelekan SpongeBob bila suatu kali bertemu. Perkara yang dipikirkan Patrick adalah “menyegerakan tragedi”, lewat penyegeraan itu diharap proses (waktu) adaptasi dan penerimaan publik kian terpangkas, seperti inilah seni Warhol!.

[Manusia-manusia ikonik]
Terlepas dari persoalan katarsis, budaya pop Warhol berhasil menciptakan manusia-manusia ikonik. Seperti ungkapnya, kelak semua orang bakal terkenal dalam lima belas menit, agaknya saat inilah era yang dimaksudkan Warhol. Menjadi manusia ikonik bukanlah aib, sebagaimana karya pop, manusia ikonik atau manusia-manusia pop menyerua dan menampakkan diri di hadapan dunia; untuk diketahui, untuk dikenal, tanpa perlu direspon atau diagungkan; begitu pula, tak peduli walau hanya disaksikan segelintir orang, semuanya sudah cukup. karena ia mesti buru-buru raib. Dari sini, kita dapat balik mempertanyakan kritik-kritik tajam yang dilayangkan pada budaya pop selama ini, bahwa nyatanya, dimensi kesesaatan dan keinstanan dalam seni pop memuat dialog yang sangat padat, juga efisiensinya dalam menjamah publik luas. Apa jadinya jika idealisme estetik masyarakat Italia mensaratkan lukisan asli Monalisa diusung kesana-kemari tuk diperkenalkan (baca: berdialog) pada dunia, tentu menjadi sangat tak efisien, oleh karenanya, ia perlu direproduksi dahulu, hasil dari reproduksi tersebutlah yang kemudian menjadi budaya pop. Kita bisa saja mencuplik kritik Walter Benjamin atas reproduksi tersebut, namun ini akan seperti mahasiswa kedokteran yang ribut mempertanyakan legalitas prakteknya, sedang orang sekarat di hadapan segera membutuhkan pertolongan!

Andy Warhol tak bersalah, yang berdosa para penirunya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar