Over-Eksploitasi melalui Kerja Imaterial;
Refleksi
atas “Keramah-tamahan” Artifisial
Wahyu Budi Nugroho
Sosiologi Universitas Udayana
“Selamat datang…”
“Selamat berbelanja kembali…”
Serangkai kalimat di
ataslah yang biasa kita tuai kala memasuki minimarket franchise yang kini banyak bermunculan di kota-kota tanah air. Pernahkah
kita berpikir, bagaimana bisa para pegawai minimarket tersebut dapat terus
bersikap ramah tiap kali pengunjung datang dan pergi. Prosedur! Tentu, inilah
jawabnya. Tak diragukan lagi jika setiap tindak-tanduk mereka diatur oleh
prosedur, tak hanya sedari cara kerja (operasional) atau cara berpenampilan,
prosedur telah mengkooptasi para pegawai tersebut hingga ranah sekecil-kecilnya:
afeksi. Hal ini mengingat, mereka tak lagi sekedar menjadi “operator” dari
barang-barang yang dijualnya, melainkan turut “diperkosa” mengkomodifikasi diri
sebagai bagian dari paket barang-barang yang dijual di tempatnya bekerja. Komoditas,
sebagaimana kita pahami; merupakan segala sesuatu yang sengaja diproduksi atau
dibuat untuk diperjual-belikan. Dengan demikian, afeksi buatan (artifisial) pun
terklasifikasi di dalamnya mengingat turut ditujukan bagi ihwal berorientasi
ekonomis/profit. Afeksi artifisial ini menyebabkan para pegawai begitu rentan
akan eksploitasi-berlebih. Satu pertanyaan pun menyerua: “Bagaimana dampak afeksi artifisial ini terhadap dimensi kemanusiaan?”.
Tesis Lawas tentang Nasib
Pekerja
Tak dapat dipungkiri,
terdapat perbedaan mendasar antara terminus pekerja, buruh, dan pegawai. Dalam konteks
ini, digunakan istilah “pegawai” dan “pekerja” secara bergantian guna memudahkan
pemaparan. Ialah Marx, yang sempat meramalkan bakal kian menderitanya nasib
pekerja (worker) di kemudian hari.
Ramalan Marx menjadi shahih sebelum mahzab neoklasik hadir dan menawarkan
berbagai “kebaikan” bagi para pekerja; tunjangan kerja, asuransi kesehatan, jaminan
keselamatan kerja, bonus akhir tahun, dan lain sebagainya. Serangkaian hal
tersebut terkulminasi lewat munculnya tesis End
of History-Fukuyama; bahwa kapitalisme merupakan ideologi pemenang sejarah,
dan meskipun ideologi ini masih menyimpan kekurangan di sana-sini, akan tetapi kapitalisme
terbukti memberi infrastruktur terbaik bagi umat manusia.
Huntington dan Derrida
adalah dua dari sekian banyak pemikir yang terlibat dalam diskursus menentang tesis
Fukuyama di atas, sebelum kemudian hadir Antonio Negri yang menyadarkan betapa spat-kapitalismus ‘kapitalisme lanjut’
benar-benar masih “bermasalah akut” dan justru melahirkan eksploitasi lebih
parah terhadap para pekerja. Bagi Negri, persoalan tersebut disebabkan oleh tak
sebatasnya eksploitasi yang kini sekedar menjamah aspek fisik, melainkan pula nonfisik.
Meminjam Foucault dan Deleuze, Negri menggunakan istilah “biopower”. Secara
ringkas, biopower didefinisikan
sebagai, “…the generation of energy from
renewable biological material” [“…generasi energi dari materi biologis yang
dapat diperbaruhi”]. Dalam konteks ini, biopower yang dimaksud mencakup seluruh
daya yang dimiliki manusia, baik fisik maupun nonfisik (body and mind) yang dapat diperbaruhi; nonfisik terutama dimensi
kesadaran dan perasaan manusia. Oleh karenanya, mereka yang bekerja di ranah
intelektual, informasi-komunikasi, jasa, pelayanan, dan berbagai lapangan kerja
“imaterial” lainnya dapatlah dikatakan lebih mendayagunakan biopower-nya.
Istilah ini berkelindan dengan terminus “biopolitik” sebagai tata lebih tinggi
yang memayunginya.
Biopower dan Biopolitik
Pendayagunaan biopower
menyimpan ambiguitas tersendiri, baik sedari tujuan maupun cara kerjanya. Dinyatakan,
prinsip pendayagunaan biopower tidaklah bertujuan untuk mendisiplinkan para pekerja,
melainkan merangsang produktivitas mereka. Di era industrial (modern), optimalisasi
biopower mewujud lewat hadirnya panoptikon yang selalu mengawasi, sedang di era
pos-Industrial saat ini, biopower termanifestasikan dalam autonomisasi,
fleksibilitas, dan kreativitas individu yang dinilai dapat meningkatkan
produktivitas dengan sendirinya melalui kontrol informasional dan imaterial
yang bersifat abstrak—prosedur kerja yang dianggap sejalan dengan idealisme nilai,
norma, berikut kultur masyarakat luas, yang juga telah tertanam pada diri setiap
pekerja melalui proses soialisasi sejak dini. Inilah mengapa terminus biopower
kemudian berkaitan erat dengan “biopolitik”. Dengan kata lain, biopolitik
menegaskan landskap sosial yang telah termapankan sebelumnya, melegitimasinya, dan
menerapkannya bagi tujuan tertentu.[1] Lebih jauh,
biopolitik memandang manusia sebagai spesies dan sumberdaya yang dapat
dikontrol; baik dari segi natalitas maupun mortalitasnya, penciptaan atau peneguhan
definisi sehat jasmani-rohani antar sesamanya, pelembagaan di bidang moral,
estetika, dan lain sejenisnya yang menampakkan diri sebagai “kontrol halus”
terhadap individu maupun kolektif.
Tak seperti di era
klasik atau modern di mana biopolitik umum ter-representasi lewat eksistensi kerajaan
atau negara yang memiliki kekuasaan legal-formal, kini biopolitik turut mewujud
dalam korporasi atau perusahaan multinasional lintas-bangsa/negara. Keberadaan
korporasi inilah yang kemudian turut diistilahkan sebagai imperium atau
“kekaisaran” oleh Hardt dan Negri. Tak ada yang berubah dari cara kerja
kekaisaran, sedari dulu ia berlaku layaknya “vampir” yang hidup dengan cara menghisap
(darah) organisme hidup lainnya. Dalam konteks kapitalisme posmodern, kehidupan
para pemodal di pusat sepenuhnya bergantung pada “kerja nyata” para pekerja di
peri-peri. Pemodal ini dapat berada di suatu tempat (negara), dan para
pekerjanya di tempat lain yang sangat berjauhan; sedang kehidupan para pemodal
ini sesungguhnya bergantung sepenuhnya pada para pekerjanya.[2] Melalui
konstelasi inilah biopower sengaja diproduksi biopolitik guna menunjang
kehidupan imperium.
Biopolitik-power dan
Implikasi Kemanusiaan
Telah jelas bagaimana karakteristik biopolitik yang memuat standar
ganda. Di satu sisi, ia ditujukan untuk penciptaan biopower yang efisien
sejalan dengan kultur masyarakat pekerja (keramah-tamahan, penerimaan, kenyamanan,
dan lain sejenisnya); namun di sisi lain, pendayagunaan biopower menimbulkan
eksploitasi berganda pada para pekerja. Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, eksploitasi
yang berlangsung tak sekedar menjamah aspek fisik, melainkan pula nonfisik
(afeksi). Beralaskan folkways
‘kebiasaan sosial’ yang telah melembaga, dimensi “rasa” dari para pegawai ini
dilumpuhkan. Kesadaran yang dibangun tak lagi bersifat spontan, tetapi
dipaksakan oleh prosedur. Penghargaan asli dan palsu pun kian tersamarkan, dan
agaknya, kita—sebagai konsumen—merasakan benar hal ini, keramah-tamahan yang
disajikan seperti tembakan yang “menindak”diri kita; tak tahu bagaimana harus
meresponnya karena memang kesemua itu adalah prosedur, dan kerap kali justru
membuat kita “kikuk”. Kita digiring pada atmosfer yang sama untuk merayakan keramah-tamahan,
sementara situasi perasaan dan kognitif kita belum tentu mendukung bagi kondisi
tersebut. Akhirnya, kita melihat bagaimana keramah-tamahan diobral, mubazir,
dan semua menemui bentuknya sebagai kepalsuan. Kita dipaksa merasa bahagia,
merasa nyaman, juga dipaksa merasa diterima; kebahagiaan, kenyamanan, dan
penerimaan yang bersifat artifisial karena bagaimanapun juga lokus utama dari minimarket
tersebut adalah ekonomi—menjaring sebanyak-banyaknya pelanggan.
Dapatlah dibayangkan ketertindasan
psikis para pegawai minimarket tersebut yang setiap waktu sarat beramah-tamah
pada banyaknya pengunjung yang datang dan pergi, terlebih menilik kenyataan
bahwa pembangunan setiap minimarket mempertimbangkan rasio kepadatan penduduk
di setiap lokasi. Berbagai minimarket yang ada kemudian tak ubahnya sebagai ruang
simulasi perasaan bagi para pegawainya, mereka tak lagi diharuskan menjadi
manusia, melainkan melampauinya: menjadi “malaikat” yang wajib selalu bersikap
baik lagi ramah; tak peduli saat itu mereka tengah bersedih, tertekan, atau
mengalami kegalauan akut.
Kiranya, pengalaman penulis sebagai berikut turut mempermudah
upaya pemaparan gejala “manusia bukan manusia” sebagai implikasi-ikutan dari hagemoni
biopolitik-power.
Suatu malam, penulis membeli barang di minimarket
dekat rumah. Seperti biasa, para pegawai menyapa dengan ramah. Saat tiba bagi
penulis untuk membayar, pegawai kasir bertanya, “Ada kartu member-nya, Pak?”.
“Tidak ada,” jawab penulis singkat. Sejurus penulis melangkah keluar, namun
belum sampai pintu kaca terjamah, penulis teringat akan satu barang yang belum dibeli.
Penulis pun bergegas kembali dan mengambil barang tersebut, dikarenakan situasi
minimarket sedang sepi, penulis segera berhadapan kembali dengan pegawai kasir yang
sama—tanpa mengantri. “Ada tambahan lain, Pak?” tanyanya pada penulis. “Tidak,”
lagi jawab penulis singkat. Akan tetapi, alangkah terkejutnya penulis kala
pegawai kasir ini mengajukan pertanyaan serupa sebagaimana perjumpaan sebelumnya:
“Kartu member-nya ada, Pak?”. Gila! Batin penulis. Pengalaman ini tentu penulis
catat sebagai sebentuk pelecehan terhadap kemanusiaan; pelecehan si pegawai
terhadap dimensi kemanusiaannya sendiri, juga pelecehan terhadap penulis.
Jauh sebelumnya, Martin Heidegger telah mengingatkan
kita akan “pola pikir teknologi” yang memunculkan terminus other atau “liyan”. Baginya, hal tersebut disebabkan oleh
eksistensi kesadaran; kesadaran yang dimiliki manusia menyebabkannya memandang
segala sesuatu sebagai obyek—terutama bagi entitas yang tak berkesadaran. Hal
ini menimbulkan dikotomi antara “ada” dan “pengada”. “Ada” adalah semat bagi
mereka yang berkesadaran, sedangkan “pengada” merupakan label bagi setiap entitas
yang tak berkesadaran. Lebih jauh, pola pikir ini menyebabkan “ada” (manusia)
menganggap segala sesuatu sebagai “pelengkap” keberadaannya (baca:
kehidupannya).[3]
Heidegger memberikan contoh apik tentang eksistensi “singa bukan singa” serta
“harimau bukan harimau” di kebun binatang. Menurutnya, singa dan harimau yang
ada di kebun binatang bukanlah singa atau harimau yang sesungguhnya. Hal ini
mengingat, dikarenakan intervensi bernama “ada”, binatang-binatang tersebut dicerabut
dari totalitas kehidupannya. Singa yang sesungguhnya tidaklah berada di kebun
binatang dan terpenjara teralis besi, melainkan berkeliaran bebas di alam
Afrika sana, begitu pula dengan harimau; harimau yang sesungguhnya tidaklah
bertempat di kebun binatang, tetapi rimba belantara Asia atau Amazon sana.
Dalam konteks kapitalisme posmodern, “kaisar” melalui
teknologi biopolitik dan biopower yang dimilikinya, berhasil menjadikan dirinya
satu-satunya “ada” dengan kesadaran superior yang melindas “ada” lainnya (para
pekerjanya) sehingga menjadikan “ada” lain sebagai “pengada”, other, obyek; yang dengan demikian bebas
ditindak, termasuk agar merekayasa perasaannya, kesadarannya. Pegawai yang
seyogyanya ingat dan tahu—jika penulis tak memiliki kartu member—kemudian sengaja menjadikan dirinya tidak ingat dan tidak
tahu dikarenakan prosedur yang mengontrolnya; apalagi julukan yang tepat
baginya kalau bukan “manusia bukan manusia”. Sekali lagi, pengkajian ini tak
berada pada domain modernitas layaknya “perutinan berlebih” ala Weber, melainkan
posmodernitas mengingat dimensi afeksi yang dibawanya.
Fenomena terkait agaknya turut mendorong kita meninjau
kembali tesis Robert Pepperell tentang era posthuman
‘pascamanusia’. Bisa jadi, Pepperell terlampau terburu-buru mendaulat era posthuman yang bermula dari fenomena “prostetik”,
yakni penanaman mesin anorganik pada bagian-bagian tertentu tubuh manusia,
hingga wujudnya yang paling canggih, cyborg
(cybernetic organism): manusia
setengah robot. Menilik gejala “manusia bukan manusia” di atas, kiranya
keberadaan prosedur bagi para pegawai dapat ditempatkan sebagai software yang mengontrol segenap
biopower-nya. Prosedur ini merupakan entitas anorganik yang memiliki kontrol penuh
terhadap entitas organik, namun hubungan keduanya tak bersifat eksternal, melainkan
internal, seolah prosedur tersebut tertransfer dengan sistem bluetooth kemudian tertanam di kepala
masing-masing pegawai, mengkooptasi kesadaran dan perasaannya. Hal ini kiranya
cukup mentransformasi kebertubuhan pegawai menjadi “benda”, atau yang lebih
moderat, “setengah benda”.
Refleksi
Menjadi begitu jelas
betapa sesungguhnya kekaisaran (korporasi) sangat bergantung pada kerja nyata para
pekerjanya yang berhadapan langsung dengan pasar. Namun, hagemoni kerja
imaterial, di samping material, yang memunculkan over-Eksploitasi seakan tak terhindarkan.
Di era informasi dan komunikasi dewasa ini, tentu menjadi hal yang tak sulit menghimpun
para pekerja ke dalam satu lini gerakan. Akan tetapi, ini akan menjadi perkara
sia-sia mengingat masih banyaknya cadangan tenaga kerja usia produktif di tanah
air. Hidden resistance ‘perlawanan
terselubung’ mungkin dapat menjadi salah satu alternatif, tetapi, format hidden resistance seperti apa yang
sesuai bagi situasi para pegawai minimarket ini? Pertanyaan terkait tentu memerlukan
pengkajian lebih lanjut. Sejauh ini penulis menimbang, ihwal termudah guna
merespon hagemoni kerja imaterial adalah dengan “otentitas”. Otentitas yang
dimaksud tak lantas mendorong pegawai untuk berani menjadi “berbeda” dari yang
lainnya—agar menjadi percontohan bagi para pegawai lainnya, melainkan
“ketertundukan terhadap diri”: melakukan apa yang ingin dilakukan, dan
sebaliknya, tak melakukan apa yang tak ingin dilakukan. Konkretnya dalam
konteks ini; beramah-tamah jika sedang ingin melakukannya, dan tak
beramah-tamah jika kognitif memang tengah tak mendukung untuk melakukannya.
*****
Bacaan lanjutan;
Adorno, Theodor W. & Max Horkheimer, 2002, Dialektika Pencerahan, IRCiSoD.
Hardt, Michael
and Antonio Negri, 2009,
Commonwealth, The
Belknap Press of Harvard University Press.
______________., 2000, Empire, Harvard University Press.
______________., 1994, Labor of Dionysus: A Critique of the State-Form, University
of Minnesota Press.
Pepperell, Robert, 2009, Posthuman:
Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi, Kreasi Wacana.
[1] Contoh biopolitik yang cukup
paripurna kiranya ter-representasikan melalui pemerintahan Nazi-Hitler di mana
ekspansi geografis bersinggungan dengan kalkulasi-kalkulasi biologis layaknya superioritas
ras, lebensraum ‘ruang hidup’,
“ladang reproduksi”, juga the final
solution (holocaust).
[2] Dalam bahasa Soekarno:
“kapitalisme Nyi Blorong”; kepala dari ular itu ada di nusantara, sedangkan
buntutnya di Eropa sana.
[3] “Pengada” adalah pelengkap
“ada”, dengan demikian “pengada” lebih inferior ketimbang “ada”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar