Kamis, 22 Januari 2015

Dongeng dan Fantasi dalam Rona Zizekian

Dongeng dan Fantasi dalam Rona Zizekian
Telaah Pemikiran Slavoj Zizek tentang Fantasi dan Emansipasi


Wahyu Budi Nugroho
Sosiologi Universitas Udayana

“Evil is, good or truth misplaced.”
[Mahatma Gandhi]

Pendahuluan
Tak diragukan lagi jika saat ini Slovej Zizek [Slavoj Zizek] menjadi satu dari segelintir filsuf penting dunia yang masih hidup di samping Jurgen Habermas, Antonio Negri, Alain Badiou, dan sayangnya; Ernesto Laclau yang baru saja berpulang di April 2014. Terkait Zizek, Adam Kirsch (dalam Gutierrez, 2013: 113) menjuluknya sebagai “filsuf politik paling berbahaya abad ini”. Analisis Zizek bergerak sedari hal-hal remeh yang bermuara pada penekanan-penekanan tajam filosofis lagi tak terduga. Ia berfilsafat lewat toilet, film, novel, ataupun berbagai anekdot yang telah dikenal khalayak. Tak heran, Tony Myers (2003: 1) mengatakan, di tangan Zizek filsafat tak ubahnya fashion; renyah dan menyenangkan untuk ditonton (baca: disimak). Namun, kerenyahannya itulah yang justru berbahaya, paparan Zizek kerap kali membius, namun pada satu titik kita dibangunkan; tersentak dan dikagetkan oleh simpulan-simpulan miris yang tak terpikirkan sebelumnya; tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali mengangguk dan mengamini.

Secara garis besar, pemikiran Zizek merupakan perpaduan unik antara dialektika-Hegel, pemikiran ideologi-politik Karl Marx, dan psikoanalisis-Jacques Lacan. Adapun beberapa kajian yang kerap diusung Zizek antara lain; eksistensi subyek, kapitalisme global, budaya populer, serta “penghidupan kembali” atas kritik ideologi; di mana masing-masing tema tersebut saling terkait antarsatu sama lain. Dalam kesempatan ini, penulis hendak mengulas “dongeng dan fantasi” dalam kerangka kritik ideologi Slovej Zizek—zizekian. Dongeng yang hendak dibahas dalam pengkajian ini adalah Timun Mas, folklore ‘cerita rakyat’ asal Jawa Tengah.

Sekilas “Timun Mas”
Mbok Srini merasa kesepian setelah bertahun-tahun ditinggal suaminya. Ia begitu mengharapkan hadirnya seorang anak tuk menemani kesehariannya yang suwung. Namun, meninggalnya sang suami seakan menyirnakan harapannya, hingga suatu malam Mbok Srini bermimpi didatangi sesosok raksasa yang memerintahkannya pergi ke hutan tempat ia biasa mencari kayu guna mengambil bungkusan di kaki sebuah pohon besar. Keesokannya, Mbok Srini pun melaksanakan perintah raksasa tersebut. Alangkah terkejutnya Mbok Srini menemukan bungkusan yang dikiranya seorang bayi, nyatanya hanyalah sebiji timun. Seketika, sosok raksasa pun terbahak di belakangnya, dan menyuruhnya menanam sebiji timun itu agar memberinya seorang anak, namun dengan satu syarat: jika anak itu telah dewasa, maka raksasa tersebut akan kembali tuk mengambilnya (baca: menyantapnya) (Samsuni, 2009).

Hari demi hari berlalu, Mbok Srini merawat biji timun yang ditanamnya dengan sepenuh hati. Tatkala mulai berbuah, timun tersebut berwarna keemasan, dan ketika dipetik, Mbok Srini terkejut sekaligus senang bukan kepalang, timun tersebut berisi seorang bayi yang kemudian segera diberinya nama Timun Mas. Singkat cerita, Timun Mas tumbuh menjadi sosok gadis cantik, pandai, dan berkepribadian menawan. Tibalah waktu bagi si raksasa tuk mengambilnya. Tentu, Mbok Srini tak rela jika buah hatinya direnggut, ia pun menceritakan yang sesungguhnya kepada Timun Mas. Meski pada awalnya sempat terkejut, namun Timun Mas tak sampai hati marah karena memang telah menganggap Mbok Srini sebagai ibu kandungnya sendiri. Ketika raksasa tersebut benar-benar datang, Mbok Srini mengatakan jika Timun Mas tengah sakit, dan meminta waktu tiga hari lagi tuk mengobatinya. Dalam selang waktu itu, Mbok Srini meminta bantuan pada seorang petapa sakti di puncak gunung. Petapa sakti itu memberinya empat buah bungkusan berupa biji timun, jarum, garam, dan terasi (Samsuni, 2009).

Ketika si raksasa menghampiri rumah Mbok Srini untuk kedua kalinya, Mbok Srini pun menyerahkan Timun Mas dan memerintahkannya (Timun Mas) agar melempar satu persatu bungkusan yang diberikan sang petapa saat si raksasa mengejarnya. Karuan, tatkala raksasa tersebut mulai mengejarnya, Timun Mas melemparkan bungkusan pertama berupa biji timun yang segera berubah menjadi ladang timun yang batangnya menjalar dan melilit si raksasa, namun dengan mudah raksasa tersebut dapat melepaskan diri. Kemudian Timun Mas melempar bungkusan jarum yang sekejap berubah menjadi rerimbunan pohon bambu tinggi lagi runcing, lagi-lagi raksasa itu dapat melaluinya dengan mudah. Setelahnya, Timun Mas melempar bungkusan garam yang seketika berubah menjadi lautan luas nan dalam, rakasasa itu pun dapat mengarunginya. Terakhir, Timun Mas melemparkan terasi yang tiba-tiba berubah menjadi lautan lumpur mendidih. Kali ini raksasa tak dapat mengelak ajalnya, ia tenggelam dan mati. Timun Mas pun kembali pada Mbok Srini dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya (Samsuni, 2009).

Dongeng sebagai Ideologi
Kiranya, kisah Timun Mas di atas menunjukkan pada kita betapa kentara muatan ideologi di dalamnya. Ideologi, jika mengacu pada pendapat Antoine Destutt de Tracy (dalam Nuswantoro, 2001: 56-57) sebagai “ilmu tentang pemikiran manusia yang dapat menunjukkan pada kebaikan”. Jika ia dapat menunjukkan (mendefinsikan) kebaikan, maka di satu sisi, ia dapat pula mendefinisikan kejahatan atau keburukan. Sesosok raksasa yang digambarkan bertubuh besar dan gemar menyantap manusia agaknya merepresentasi kejahatan—itulah mengapa ia sarat kalah di akhir cerita, sedangkan Mbok Srini yang merawat Timun Mas dengan sepenuh hati sebagai perlambang kebaikan dan kebenaran. Namun dalam pandangan Zizek, persoalan tak menjadi sesederhana itu, yakni sekedar menjamah aspek “kulit” dari ideologi. Layaknya pandangan teori kritis, ideologi sengaja menciptakan ilusi untuk mengatasi realitas (the Real); realitas tanpa realitas. Namun di sisi lain, ideologi juga berupaya menciptakan (menjaga) jarak dengan subyek. Ini sebagaimana problem subyek dengan obyek kepuasan dalam psikoanalisis Lacan (dalam Zizek, 2008: 134), jika subyek dengan obyek kepuasan tak berjarak, maka “keinginan” atau “kebahagiaan” akan cepat sirna, oleh karenanya dibutuhkan jarak agar subyek ajeg mengejar atau mencari—supaya terus memiliki minat. Pertanyaannya, dengan apakah jarak itu dibuat? Jawabnya: fantasi!.

Bagi penulis, berseberangan dengan Zizek yang masih menghormati ideologi kiri, baik kapitalisme maupun sosialisme-komunis bermain dengan fantasi agar tak kehilangan pendukung. Masyarakat kapitalis berfantasi dengan era “konsumsi tingkat tinggi” yang bakal diciptakan mekanisme trickle down effect, sedangkan dahulu masyarakat komunis terbius oleh mimpi tata masyarakat sama rasa-sama rata. Namun, ketika masyarakat telah merasakan dampak nyata dari kerja ideologinya—terutama masyarakat kapitalis—maka tak ada lagi yang tersisa, meminjam istilah Ritzer: “mengonsumsi kehampaan”, ideologinya tak lagi menarik. Terlepas dari kompetisi lawas kedua ideologi tersebut, bagi Zizek analisis ideologi bersifat spektral, artinya daya rambat ideologi pada bidang-bidang kehidupan berbeda antarsatu sama lain. Bisa jadi ia lebih memiliki pengaruh lewat film, novel, atau penataran-penataran yang sengaja dibuat penguasa (baca: pemerintah). Bagi penulis, dongeng yang sekaligus memuat dimensi fantasi lebih memiliki daya cengkram, ia selalu berhasil menjaga jarak dengan subyek dan mengatasi realitas. Akan tetapi, kelemahannya terletak pada fantasi “yang telah diketahui” atau “tertebak”. Dengan kata lain, ideologi akan menjadi lebih kuat ketika fantasinya urung diketahui atau belum terbukti.

Dalam hal streotipe atau rasisme misalkan, Zizek (2008: 128-133) berpendapat bahwa hal tersebut muncul akibat fantasi yang tak diketahui. Sebagai misal, Yahudi sebagai bangsa yang kerap menjadi obyek rasisme disebabkan oleh ketidaktahuan kita akan aktivitas dan gerak-gerik mereka yang sesungguhnya, atau apabila hendak dikata lebih vulgar: “Apa yang mereka inginkan dari kita?!”. Inilah yang kemudian memunculkan bayang-bayang tentang konspirasi Yahudi seluruh dunia, freemasonry, dan lain sejenisnya. Bagi Zizek, rasisme yang diciptakan oleh fantasi ideologi setidaknya menyangkut dua hal; (1) Pihak asing memiliki akses istimewa terhadap jouissance ‘kenikmatan’, dan (2) Pihak asing mencoba mencuri jouissance kita. Dalam kasus Timun Mas, dipaparkan secara jelas bagaimana si raksasa berupaya mencuri jouissance Mbok Srini, yakni Timun Mas. Melalui fantasi ideologi, kita diajak mempersoalkan hal-hal yang sesungguhnya tak perlu dipersoalkan. Dapatlah dibayangkan Mbok Srini berucap dalam benaknya, “Andaikan raksasa itu tak ada, aku dan Timun Mas bakal hidup tenang dan bahagia”. Di sini, Mbok Srini menjadi the Symbolic yang merepresentasikan diri sebagai “kebenaran” karena mempertahankan kehidupan; the Symbolic yang mengatasi the Real—bahwa kenyataannya Timun Mas merupakan milik/pemberian si raksasa.[1]
             
Selanjutnya, fantasi ketiadaan raksasa dan kehidupan bahagia tanpa celah bersama Timun Mas membuat Mbok Srini meminta bantuan pada seorang petapa. Dalam pandangan Zizek, tindakan Mbok Srini tidaklah didasari upaya untuk membunuh raksasa itu sendiri, melainkan didasari oleh fantasinya. Di sinilah kita kerap luput, menyangka tindakan subyek dimotivasi oleh the Real, nyatanya oleh fantasinya sendiri. Hal ini menjadi mungkin mengingat karakter fantasi sebagai “Che vuoi?” [“Apa yang kau inginkan dariku?”] menurut Zizek (2007: 40). “Apa yang kau inginkan dariku” membuat subyek (the Symbolic) dapat bertindak senekat apapun, sebagai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas. Bagi Zizek (2007: 47, 51-52), terdapat tiga karakter dari fantasi; (1) Fantasi merupakan pertahanan melawan hasrat the Other (pihak asing) yang termanifestasi lewat “Che vuoi?”, (2) Fantasi menjadikan kita individual, subyek yang menilai realitas secara subyektif, terbukti lewat rentannya fantasi kita akan gangguan pihak lain, dan (3) Fantasi adalah cara kita mengatur jouissance.

Dalam kerangka kritik ideologi Zizek (2008: 43), agaknya dongeng terklasifikasi dalam dimensi ideological belief, yakni materi atau manifestasi eksternal sebagai pelengkap ideologi. Sementara, ideologi utama yang memayunginya, ideological doctrine, tampak melalui negatifnya sosok nonhuman, dalam hal ini raksasa yang dianggap sebagai the Other—bahwa segala sesuatu yang bukan manusia atau tak manusiawi adalah buruk. Dimensi terakhir, yakni ideological ritual, menunjuk pada internalisasi dari sebuah doktrin, bagaimana kita secara spontan menganggap kematian sebagai hal yang buruk, sedangkan sebaliknya dengan kehidupan; dalam konteks ini Timun Mas yang hendak disantap si raksasa. Tentu, kita dapat mempertanyakan kembali buruk-tidaknya kematian dalam kehidupan nyata melalui perkara yang diajukan Patch Adams terkait keutamaan “kuantitas hidup” ataukah “kualitas hidup”.

Refleksi: Fantasi dan Emansipasi
Adakah jalan untuk mengatasi fantasi, sebagaimana fantasi mengatasi realitas? Zizek (2008: 141) menawarkan solusi berupa traversing the fantasy atau “melintasi fantasi”; “…only ‘traversed’: all we have to do is experience how there is nothing ‘behind’ it” [“…hanya dengan ‘melintasinya’ (fantasi): kita akan mendapati pengalaman bahwa tak ada apapun ‘di balik’ itu (fantasi)”], ucap Zizek. Sebagai misal, apabila bangsa Yahudi di suatu negara benar-benar musnah, apakah negara tersebut benar-benar akan tentram lagi sejahtera tanpa persoalan apapun?. Begitu pula pada kasus Timun Mas, jika si raksasa tiada atau tak ada dalam narasi dongeng, apakah Mbok Srini dan Timun Mas akan benar-benar hidup bahagia untuk selamanya? Tidakkh ada persoalan lain yang mendera mereka? Manusia jahat yang menggantikan peran si raksasa mungkin? Mbok Srini yang dipatuk ular ketika suatu kali mencari kayu di hutan? Atau Timun Mas yang kelak menikah dan mendapati suami jahat?. Pertanyaannya, bagaimanakah perlintasan fantasi dapat dilakukan? Mengacu pada dialektika Hegel, seakan Zizek mengajak kita melampui rangkaian tesis-antitesis jauh ke depan, seolah satu tahap yang telah cukup paripurna dari roh absolut telah tampak meski belum terwujud. Secara sederhana, Zizek (1992: 5-6) memisalkan dengan “surat” yang selalu sampai ke tujuan; terdapat perbedaan atmosfer ketika kita tengah menantikannya dan saat kita telah memegang atau membaca surat tersebut, traversing the fantasy mengajak kita seolah telah memegang surat tersebut. Memang, perspektif Zizek dalam kritik ideologi terkadang dapat menjadi begitu konservatif. Tegas dan jelasnya, tak mudah memaparkan pemikiran Slovej Zizek lewat segelintir narasi. Tabik!



*****


Referensi

Primer;
Zizek, Slavoj, 2008, The Sublime Object of Ideology, Verso.
___________, 2007, How to Read Lacan, WW Norton & Company.
___________, 1992, Enjoy Your Symptom!, Routledge.

Sekunder;
Myers, Tony, 2003, Slavoj Zizek, Routledge.
Nuswantoro, 2001, Daniel Bell: Matinya Ideologi, Indonesiatera.

Jurnal;
Gutierrez, Ricardo Jose E., 2013, The Phenomenon: Slavoj Zizek: Deadly Jester or Thinker of Our Age?, Kritike, Vol. 7/No. 2, December 2013, pp. 112-129.

Internet;
Samsuni, 2009, Timun Mas, http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/163-timun-emas (diakses pada 11 November 2014).





[1] Namun the Real sebagai raksasa dalam pengkajian ini sesungguhnya ditempatkan pula sebagai the Symbolic, simbol “kejahatan”, mengingat the Real tak terbahasakan atau tak terjangkau, dan hanya dapat terwakili pula oleh simbol.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar