Dongeng
dan Fantasi dalam Rona Zizekian
Telaah
Pemikiran Slavoj Zizek tentang Fantasi dan Emansipasi
Wahyu Budi Nugroho
Sosiologi Universitas Udayana
“Evil is,
good or truth misplaced.”
[Mahatma Gandhi]
Pendahuluan
Tak diragukan lagi jika saat ini Slovej Zizek [Slavoj
Zizek] menjadi satu dari segelintir filsuf penting dunia yang masih hidup di
samping Jurgen Habermas, Antonio Negri, Alain Badiou, dan sayangnya; Ernesto Laclau yang baru saja berpulang di April 2014.
Terkait Zizek, Adam Kirsch (dalam Gutierrez, 2013: 113) menjuluknya sebagai
“filsuf politik paling berbahaya abad ini”. Analisis Zizek bergerak sedari
hal-hal remeh yang bermuara pada penekanan-penekanan tajam filosofis lagi tak
terduga. Ia berfilsafat lewat toilet, film, novel, ataupun berbagai anekdot yang
telah dikenal khalayak. Tak heran, Tony Myers (2003: 1) mengatakan, di tangan
Zizek filsafat tak ubahnya fashion;
renyah dan menyenangkan untuk ditonton (baca: disimak). Namun, kerenyahannya
itulah yang justru berbahaya, paparan Zizek kerap kali membius, namun pada satu
titik kita dibangunkan; tersentak dan dikagetkan oleh simpulan-simpulan miris
yang tak terpikirkan sebelumnya; tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali
mengangguk dan mengamini.
Secara garis besar, pemikiran Zizek merupakan
perpaduan unik antara dialektika-Hegel, pemikiran ideologi-politik Karl Marx,
dan psikoanalisis-Jacques Lacan. Adapun beberapa kajian yang kerap diusung
Zizek antara lain; eksistensi subyek, kapitalisme global, budaya populer, serta
“penghidupan kembali” atas kritik ideologi; di mana masing-masing tema tersebut
saling terkait antarsatu sama lain. Dalam kesempatan ini, penulis hendak
mengulas “dongeng dan fantasi” dalam kerangka kritik ideologi Slovej
Zizek—zizekian. Dongeng yang hendak dibahas dalam pengkajian ini adalah Timun Mas, folklore ‘cerita rakyat’ asal Jawa Tengah.
Sekilas “Timun Mas”
Mbok Srini merasa kesepian setelah bertahun-tahun
ditinggal suaminya. Ia begitu mengharapkan hadirnya seorang anak tuk menemani kesehariannya
yang suwung. Namun, meninggalnya sang
suami seakan menyirnakan harapannya, hingga suatu malam Mbok Srini bermimpi
didatangi sesosok raksasa yang memerintahkannya pergi ke hutan tempat ia biasa
mencari kayu guna mengambil bungkusan di kaki sebuah pohon besar. Keesokannya,
Mbok Srini pun melaksanakan perintah raksasa tersebut. Alangkah terkejutnya Mbok
Srini menemukan bungkusan yang dikiranya seorang bayi, nyatanya hanyalah sebiji
timun. Seketika, sosok raksasa pun terbahak di belakangnya, dan menyuruhnya
menanam sebiji timun itu agar memberinya seorang anak, namun dengan satu
syarat: jika anak itu telah dewasa, maka raksasa tersebut akan kembali tuk
mengambilnya (baca: menyantapnya) (Samsuni, 2009).
Hari demi hari berlalu, Mbok Srini merawat biji timun
yang ditanamnya dengan sepenuh hati. Tatkala mulai berbuah, timun tersebut berwarna
keemasan, dan ketika dipetik, Mbok Srini terkejut sekaligus senang bukan
kepalang, timun tersebut berisi seorang bayi yang kemudian segera diberinya
nama Timun Mas. Singkat cerita, Timun Mas tumbuh menjadi sosok gadis cantik,
pandai, dan berkepribadian menawan. Tibalah waktu bagi si raksasa tuk
mengambilnya. Tentu, Mbok Srini tak rela jika buah hatinya direnggut, ia pun
menceritakan yang sesungguhnya kepada Timun Mas. Meski pada awalnya sempat
terkejut, namun Timun Mas tak sampai hati marah karena memang telah menganggap
Mbok Srini sebagai ibu kandungnya sendiri. Ketika raksasa tersebut benar-benar
datang, Mbok Srini mengatakan jika Timun Mas tengah sakit, dan meminta waktu tiga
hari lagi tuk mengobatinya. Dalam selang waktu itu, Mbok Srini meminta bantuan
pada seorang petapa sakti di puncak gunung. Petapa sakti itu memberinya empat
buah bungkusan berupa biji timun, jarum, garam, dan terasi (Samsuni, 2009).
Ketika si raksasa menghampiri rumah Mbok Srini untuk
kedua kalinya, Mbok Srini pun menyerahkan Timun Mas dan memerintahkannya (Timun
Mas) agar melempar satu persatu bungkusan yang diberikan sang petapa saat si
raksasa mengejarnya. Karuan, tatkala raksasa tersebut mulai mengejarnya, Timun
Mas melemparkan bungkusan pertama berupa biji timun yang segera berubah menjadi
ladang timun yang batangnya menjalar dan melilit si raksasa, namun dengan mudah
raksasa tersebut dapat melepaskan diri. Kemudian Timun Mas melempar bungkusan
jarum yang sekejap berubah menjadi rerimbunan pohon bambu tinggi lagi runcing,
lagi-lagi raksasa itu dapat melaluinya dengan mudah. Setelahnya, Timun Mas
melempar bungkusan garam yang seketika berubah menjadi lautan luas nan dalam,
rakasasa itu pun dapat mengarunginya. Terakhir, Timun Mas melemparkan terasi
yang tiba-tiba berubah menjadi lautan lumpur mendidih. Kali ini raksasa tak
dapat mengelak ajalnya, ia tenggelam dan mati. Timun Mas pun kembali pada Mbok
Srini dan mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya (Samsuni, 2009).
Dongeng sebagai Ideologi
Kiranya, kisah Timun Mas di atas menunjukkan pada kita
betapa kentara muatan ideologi di dalamnya. Ideologi, jika mengacu pada
pendapat Antoine Destutt de Tracy (dalam Nuswantoro, 2001: 56-57) sebagai “ilmu tentang pemikiran manusia yang dapat
menunjukkan pada kebaikan”. Jika ia dapat menunjukkan (mendefinsikan) kebaikan,
maka di satu sisi, ia dapat pula mendefinisikan kejahatan atau keburukan.
Sesosok raksasa yang digambarkan bertubuh besar dan gemar menyantap manusia agaknya
merepresentasi kejahatan—itulah mengapa ia sarat kalah di akhir cerita,
sedangkan Mbok Srini yang merawat Timun Mas dengan sepenuh hati sebagai perlambang
kebaikan dan kebenaran. Namun dalam pandangan Zizek, persoalan tak menjadi
sesederhana itu, yakni sekedar menjamah aspek “kulit” dari ideologi. Layaknya
pandangan teori kritis, ideologi sengaja menciptakan ilusi untuk mengatasi
realitas (the Real); realitas tanpa
realitas. Namun di sisi lain, ideologi juga berupaya menciptakan (menjaga)
jarak dengan subyek. Ini sebagaimana problem subyek dengan obyek kepuasan dalam
psikoanalisis Lacan (dalam Zizek, 2008: 134), jika subyek dengan obyek kepuasan
tak berjarak, maka “keinginan” atau “kebahagiaan” akan cepat sirna, oleh
karenanya dibutuhkan jarak agar subyek ajeg
mengejar atau mencari—supaya terus memiliki minat. Pertanyaannya, dengan apakah
jarak itu dibuat? Jawabnya: fantasi!.
Bagi penulis, berseberangan dengan Zizek yang masih
menghormati ideologi kiri, baik kapitalisme maupun sosialisme-komunis bermain
dengan fantasi agar tak kehilangan pendukung. Masyarakat kapitalis berfantasi
dengan era “konsumsi tingkat tinggi” yang bakal diciptakan mekanisme trickle down effect, sedangkan dahulu masyarakat
komunis terbius oleh mimpi tata masyarakat sama
rasa-sama rata. Namun, ketika masyarakat telah merasakan dampak nyata dari
kerja ideologinya—terutama masyarakat kapitalis—maka tak ada lagi yang tersisa,
meminjam istilah Ritzer: “mengonsumsi kehampaan”, ideologinya tak lagi menarik.
Terlepas dari kompetisi lawas kedua ideologi tersebut, bagi Zizek analisis
ideologi bersifat spektral, artinya daya rambat ideologi pada bidang-bidang
kehidupan berbeda antarsatu sama lain. Bisa jadi ia lebih memiliki pengaruh
lewat film, novel, atau penataran-penataran yang sengaja dibuat penguasa (baca:
pemerintah). Bagi penulis, dongeng yang sekaligus memuat dimensi fantasi lebih
memiliki daya cengkram, ia selalu berhasil menjaga jarak dengan subyek dan
mengatasi realitas. Akan tetapi, kelemahannya terletak pada fantasi “yang telah
diketahui” atau “tertebak”. Dengan kata lain, ideologi akan menjadi lebih kuat
ketika fantasinya urung diketahui
atau belum terbukti.
Dalam hal streotipe atau rasisme misalkan, Zizek
(2008: 128-133) berpendapat bahwa hal tersebut muncul akibat fantasi yang tak
diketahui. Sebagai misal, Yahudi sebagai bangsa yang kerap menjadi obyek
rasisme disebabkan oleh ketidaktahuan kita akan aktivitas dan gerak-gerik
mereka yang sesungguhnya, atau apabila hendak dikata lebih vulgar: “Apa yang mereka inginkan dari kita?!”. Inilah
yang kemudian memunculkan bayang-bayang tentang konspirasi Yahudi seluruh
dunia, freemasonry, dan lain
sejenisnya. Bagi Zizek, rasisme yang diciptakan oleh fantasi ideologi
setidaknya menyangkut dua hal; (1) Pihak asing memiliki akses istimewa terhadap
jouissance ‘kenikmatan’, dan (2) Pihak
asing mencoba mencuri jouissance
kita. Dalam kasus Timun Mas, dipaparkan
secara jelas bagaimana si raksasa berupaya mencuri jouissance Mbok Srini, yakni Timun Mas. Melalui fantasi ideologi,
kita diajak mempersoalkan hal-hal yang sesungguhnya tak perlu dipersoalkan. Dapatlah
dibayangkan Mbok Srini berucap dalam benaknya, “Andaikan raksasa itu tak ada, aku dan Timun Mas bakal hidup tenang dan
bahagia”. Di sini, Mbok Srini menjadi the
Symbolic yang merepresentasikan diri sebagai “kebenaran” karena
mempertahankan kehidupan; the Symbolic
yang mengatasi the Real—bahwa kenyataannya
Timun Mas merupakan milik/pemberian si raksasa.[1]
Selanjutnya, fantasi ketiadaan raksasa dan kehidupan
bahagia tanpa celah bersama Timun Mas membuat Mbok Srini meminta bantuan pada
seorang petapa. Dalam pandangan Zizek, tindakan Mbok Srini tidaklah didasari upaya
untuk membunuh raksasa itu sendiri, melainkan didasari oleh fantasinya. Di
sinilah kita kerap luput, menyangka tindakan subyek dimotivasi oleh the Real, nyatanya oleh fantasinya
sendiri. Hal ini menjadi mungkin mengingat karakter fantasi sebagai “Che vuoi?” [“Apa yang kau inginkan dariku?”] menurut Zizek (2007: 40). “Apa yang kau inginkan dariku” membuat
subyek (the Symbolic) dapat bertindak
senekat apapun, sebagai kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas. Bagi Zizek
(2007: 47, 51-52), terdapat tiga karakter dari fantasi; (1) Fantasi merupakan
pertahanan melawan hasrat the Other
(pihak asing) yang termanifestasi lewat “Che
vuoi?”, (2) Fantasi menjadikan kita individual, subyek yang menilai
realitas secara subyektif, terbukti lewat rentannya fantasi kita akan gangguan
pihak lain, dan (3) Fantasi adalah cara kita mengatur jouissance.
Dalam kerangka kritik ideologi Zizek (2008: 43),
agaknya dongeng terklasifikasi dalam dimensi ideological belief, yakni materi atau manifestasi eksternal sebagai
pelengkap ideologi. Sementara, ideologi utama yang memayunginya, ideological doctrine, tampak melalui negatifnya
sosok nonhuman, dalam hal ini raksasa
yang dianggap sebagai the Other—bahwa
segala sesuatu yang bukan manusia atau tak manusiawi adalah buruk. Dimensi
terakhir, yakni ideological ritual, menunjuk
pada internalisasi dari sebuah doktrin, bagaimana kita secara spontan
menganggap kematian sebagai hal yang buruk, sedangkan sebaliknya dengan kehidupan;
dalam konteks ini Timun Mas yang hendak disantap si raksasa. Tentu, kita dapat
mempertanyakan kembali buruk-tidaknya kematian dalam kehidupan nyata melalui
perkara yang diajukan Patch Adams terkait keutamaan “kuantitas hidup” ataukah
“kualitas hidup”.
Refleksi: Fantasi dan Emansipasi
Adakah jalan untuk mengatasi fantasi, sebagaimana
fantasi mengatasi realitas? Zizek (2008: 141) menawarkan solusi berupa traversing the fantasy atau “melintasi
fantasi”; “…only ‘traversed’: all we have
to do is experience how there is nothing ‘behind’ it” [“…hanya dengan
‘melintasinya’ (fantasi): kita akan mendapati pengalaman bahwa tak ada apapun ‘di
balik’ itu (fantasi)”], ucap Zizek. Sebagai misal, apabila bangsa Yahudi di
suatu negara benar-benar musnah, apakah negara tersebut benar-benar akan
tentram lagi sejahtera tanpa persoalan apapun?. Begitu pula pada kasus Timun
Mas, jika si raksasa tiada atau tak ada dalam narasi dongeng, apakah Mbok Srini
dan Timun Mas akan benar-benar hidup bahagia untuk selamanya? Tidakkh ada
persoalan lain yang mendera mereka? Manusia jahat yang menggantikan peran si
raksasa mungkin? Mbok Srini yang dipatuk ular ketika suatu kali mencari kayu di
hutan? Atau Timun Mas yang kelak menikah dan mendapati suami jahat?. Pertanyaannya,
bagaimanakah perlintasan fantasi dapat dilakukan? Mengacu pada dialektika
Hegel, seakan Zizek mengajak kita melampui rangkaian tesis-antitesis jauh ke
depan, seolah satu tahap yang telah cukup paripurna dari roh absolut telah tampak meski belum terwujud. Secara sederhana, Zizek
(1992: 5-6) memisalkan dengan “surat” yang selalu sampai ke tujuan; terdapat
perbedaan atmosfer ketika kita tengah menantikannya dan saat kita telah
memegang atau membaca surat tersebut, traversing
the fantasy mengajak kita seolah telah memegang surat tersebut. Memang, perspektif
Zizek dalam kritik ideologi terkadang dapat menjadi begitu konservatif. Tegas
dan jelasnya, tak mudah memaparkan pemikiran Slovej Zizek lewat segelintir
narasi. Tabik!
*****
Referensi
Primer;
Zizek, Slavoj, 2008, The Sublime Object of Ideology, Verso.
___________, 2007, How
to Read Lacan, WW Norton & Company.
___________, 1992, Enjoy
Your Symptom!, Routledge.
Sekunder;
Myers, Tony, 2003, Slavoj
Zizek, Routledge.
Nuswantoro, 2001, Daniel
Bell: Matinya Ideologi, Indonesiatera.
Jurnal;
Gutierrez, Ricardo Jose E., 2013, The Phenomenon:
Slavoj Zizek: Deadly Jester or Thinker of Our Age?, Kritike, Vol. 7/No. 2, December 2013, pp. 112-129.
Internet;
Samsuni, 2009, Timun
Mas, http://ceritarakyatnusantara.com/id/folklore/163-timun-emas
(diakses pada 11 November 2014).
[1] Namun the Real sebagai raksasa dalam
pengkajian ini sesungguhnya ditempatkan pula sebagai the Symbolic, simbol “kejahatan”, mengingat the Real tak terbahasakan atau tak terjangkau, dan hanya dapat terwakili
pula oleh simbol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar