“MR 73”:
Tinjauan Psikoanalisis Tokoh & Kejadian
TRANSKRIP
Bedah Film @Bentara Budaya Bali, 15/03/15
Wahyu Budi Nugroho
Pendahuluan
Baik ketiga tokoh yang disorot dalam film ini:
inspektur polisi, Schneider; Justine; dan tersangka pembunuh berantai, Subra;
ketiganya merupakan “orang sakit”. Schneider yang kecanduan alkohol akibat
kematian istri dan anaknya, Justine yang mengalami trauma dan keparanoidan akut
akibat pembantaian kedua orang tuanya, serta Subra sendiri sang psikopat
pembunuh berantai.
Schneider & Justine
Kedua tokoh ini mengalami trauma dalam hidupnya;
trauma, dalam bahasa Yunani berarti, “luka yang membekas”. Trauma inilah yang
kemudian menyebabkan keduanya merasa terdapat kekurangan atau “kekosongan”
dalam dirinya untuk dipenuhi; Schneider yang menghendaki istri dan anaknya
kembali, kemudian memanipulasinya dengan minum-minuman keras (baca: alkohol);
Justine yang begitu kekurangan akan rasa aman, lalu memenuhinya dengan fantasi
tentang si pembunuh berantai. Dalam ranah psikologi, apa yang menimpa mereka
disebut “katarsis”; yakni penghempasan kekalutan pada hal lain.
Sebetulnya setiap kita pun memiliki kekosongan, celah;
karena manusia merupakan makhluk berkesadaran. “Aku sadar akan diriku”, ada dua
“aku” di situ, antara “aku” pertama dan “aku” kedua terdapat jarak atau
kekosongan yang menuntut untuk diisi. Hanya saja, kekosongan yang kita alami tak
separah dan seakut Schneider serta Justine. Sedangkan jika kita bandingkan
dengan benda, benda itu tidak memiliki celah atau kekosongan; ia solid.
Namun demikian, sesungguhnya penyakit yang dialami
Schneider dan Justine lebih parah ketimbang Subra. Baik Schneider dan Justine
secara aktif menghancurkan (baca: membunuh) dirinya sendiri, sedang tidak Subra
yang berhasrat membunuh orang lain. Dalam batas-batas tertentu, secara
naluriah, menjadi wajar ketika manusia berhasrat mengeliminasi manusia
lain—bukan dirinya sendiri (homo homini
lupus).
Psikopatologi
Secara tidak langsung, film ini ingin mengatakan bahwa
psikopat ada di sekitar kita; dan ini benar adanya. Beberapa waktu lalu, Prof.
Dr. Azrul Azswar dari kemenkes mengatakan bahwa “satu dari empat orang di
Indonesia menderita sakit jiwa”—ini artinya,
kalau tiga teman Anda baik-baik saja, berarti Anda yang sakit jiwa. Ada di
sini yang psikopat? Salah satu ciri psikopat itu menganggap diri lebih tinggi,
lebih spesial, atau lebih penting dari orang lain. Nah ini, jangan-jangan kita
jadi psikopat karena diciptakan lingkungan. Seorang
psikopat tidak untuk dilahirkan, tetapi diciptakan. Coba lihat iklan-iklan
di TV sekarang, semua menekankan betapa spesialnya diri kita: “Karena Anda begitu spesial…”.
Sama seperti fenomena penembakan sekolah-sekolah di
Amerika Serikat. Para pelakunya adalah psikopat yang dihasilkan (diciptakan)
oleh lingkungan, dalam hal ini media: game.
Game seperti tembak-tembakan membuat
mereka larut dalam apa yang diistilahkan Baudrillard sebagai “hiperrealitas”:
ihwal yang melampaui kenyataan. Ini pada akhirnya membuat mereka tak bisa
membedakan antara mana realitas (kehidupan nyata) dengan kehidupan khayal
(kehidupan artifisial/buatan yang diciptakan oleh media); jadilah koboi-koboian di sekolah atau jalanan.
Hal yang menjadi persoalan adalah, film ini menggiring
pandangan kita bahwa psikopat adalah orang yang dicirikan dengan penampilannya
yang lusuh, rambutnya yang acak-acakan, dan tak punya pekerjaan jelas. Padahal,
psikopat bisa jadi siapa saja; bahkan bisa saja polisi. Seperti beberapa waktu
lalu, ada kasus karyawan perusahaan di Bali yang bekerja sambilan sebagai guide, dan dia membunuh turis-turis yang
dipandunya, turis yang jadi sasarannya selau turis Jepang; entah kenapa. Secara
pembawaan, karyawan ini sopan, murah senyum, dan baik. Tak ada yang menyangka
kalau dia bisa membunuh; tapi kenyataan berkata lain.
Demonstration Effect
Sebetulnya, dengan mengangkat (baca: membuat) film
ini, sesungguhnya si produser/sutradara membuka kemungkinan/potensi pada
penonton untuk meniru tokoh psikopat yang ada di film ini. Mengapa? Karena
seperti diutarakan Veblen, media (baca: TV) memiliki demonstration effect ‘efek demontrasi’. Siapa tahu kebut-kebutan
motor di jalan itu terpengaruh (terinspirasi) setelah menonton tayangan balapan
motor GP?. Di Amerika Serikat misalnya, kejar-kejaran mobil antara sipil dengan
polisi itu hampir jadi makanan tiap hari. Ini karena di setiap film Hollywood
selalu menampilkan adegan kejar-kejaran mobil; coba Anda amati film-film
Hollywood, tak satu pun yang tak ada adegan kejar-kejaran mobil. Seperti kasus
begal motor di tanah air, awalnya sedikit, tapi karena kemudian diangkat di
televisi, lalu jadi banyak. Saya yakin tak semua dari begal motor itu awalnya betul-betul
serius dan niat melakukan aksi begal; tapi karena mereka mendapat “banyak
contoh” dari TV, mereka pun lalu ikut-ikutan. Nah, ini seperti ungkapan Johan
Huizinga bahwa manusia adalah homo ludens
‘makhluk yang suka bermain-main’.
Seperti yang pernah saya bilang juga ke
mahasiswa-mahasiswa saya; cara paling mudah melihat efek film atas individu
atau publik itu mudah. Tunggu dan berdiri saja di dekat pintu exit bioskop. Kalau habis nonton film action, biasanya orang keluar sambil petantang-petenteng, tapi sebaliknya
kalau habis nonton film romantis, wajahnya melankolis.
Apabila ini kisah nyata, maka film ini justru
melipatganda teror. Seperti wawancara yang dilakukan Giovanna Borradori pada
Jurgen Habermas dan Jacques Derrida tentang WTC (2001); tayangan yang
berulang-ulang tentang tragedi WTC itu justru melipatganda teror bagi
masyarakat.
Subra
Tokoh ini pun sebetulnya juga korban; kenapa ia bisa
jadi seorang psikopat? Ingat, seorang psikopat tidak untuk dilahirkan, tapi
diciptakan. Dalam film serupa—film-film psikopat—seperti Hannibal misalnya, di
seri pertama dan kedua, ditampakkan sekali kalau Hannibal merupakan sosok yang
bersalah. Baru di sekuel selanjutnya dijelaskan bagaimana proses Hannibal
menjadi seorang psikopat. Dari situ kita tidak bisa lagi secara serampangan
mengatakan bahwa Hannibal adalah sosok yang benar-benar bersalah; ia menjadi
psikopat juga disebabkan oleh orang lain; bukan salahnya sendiri. Seperti para
pelaku sodomi misalkan, nyatanya sebagian besar pelaku sodomi adalah mereka
yang pernah menuai pengalaman serupa sewaktu kecil. Nah, ini kita kembali ke
konsep katarsis: penghempasan kekalutan
pada hal lain atau orang lain.
Film ini, sejak awal sudah menempatkan sang psikopat
sebagai sosok yang bersalah dan jahat. Kalau kita gunakan konsep camera lucida dari Roland Barthes; mata
kamera itu selalu bersifat satu dimensi; dimana ada citra yang ditampilkan, di
situ selalu ada citra yang disembunyikan. Nah, tokoh yang paling banyak disorot
dalam film ini adalah Schneider dan Justine, menjadi mudah bagi kita untuk
mengidentifikasi siapa pemeran utamanya, juga siapa yang baik, dan siapa yang
jahat. Sama seperti sekarang, karena banyak mata memandang ke arah saya, seolah
sayalah yang jadi tokoh utama dalam acara ini; saya menjadi sentris, pusat.
Padahal belum tentu analisis saya lebih bagus ketimbang kalian yang duduk di
sana memperhatikan saya. Bisa jadi, kalian yang lebih pantas berada di depan
sini untuk “berkhotbah”.
Konsep camera
lucida-Roland Barthes di sini juga tampak lewat ketidaklengkapan alur film;
ada yang sengaja disembunyikan. Dalam hal ini, kisah atau proses Subra menjadi
seorang psikopat. Seolah di-cut
begitu saja, dan tiba-tiba kita mendapati sosok Subra sebagai yang jahat. Dalam
film ini, sekali lagi, saya memandang, Schneider dan Justine lah yang
sebetulnya jauh lebih bermasalah.
Motif Pembuat Film: Tinjauan Psikoanalisis Media
Kita berhak bertanya ihwal seputar motivasi produser
atau sutradara MR 73 membuat film ini. Kalau kata Feurbach, produser atau
sutradara yang membuat film sebetulnya tengah merefleksikan kehidupannya
sendiri. Dalam arti, ketika ia mendapati ketidakpuasan dalam dirinya atau hidupnya,
ia mensubstitusi hidupnya dengan kehidupan tokoh utama yang diciptakannya dalam
film. Di sini kita kembali pada katarsis; yakni film sebagai sarana penghempas
kekalutan pembuatnya. Bisa jadi sang pembuat film ingin membagi pengalamannya
terteror/terintimidasi pada khalayak. Penerawangan ihwal seputar motivasi
pembuat film memang sangat samar, ini seperti menerawang motivasi “wanita yang
merokok”; apakah wanita yang merokok itu betul-betul menginginkan rokok
tembakau, atau jangan-jangan “rokok-rokok yang lainnya”; sementara rokok
tembakau sekedar digunakannya untuk mensubstitusi atau memanipulasi keinginan
lain yang sesungguhnya.
Penutup
Pada akhirnya, saya menemui simpulan bahwa apa yang sebetulnya
diharapkan sang inspektur polisi, Schneider, dan si wanita bernama Justine,
adalah kematian dirinya sendiri. Ini seperti konsep the lost paradise ‘surga yang hilang’; bahwa apa yang sebetulnya
kita cari “di luar sini” adalah kenyamanan dan keamanan seperti saat dikandung
ibu. Schneider yang mengharap kenyamanan saat berkumpul dengan anak-istrinya,
serta Justine yang mendamba keamanan ketika kedua orangtuanya masih hidup.
Tegas dan jelasnya, Schneider dan Justine sebetulnya merupakan sosok (tokoh)
yang jauh lebih berbahaya ketimbang si pembunuh berantai, Subra.
*****
Berita;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar