Menyoal Geng Motor Dewasa Ini
Suara
Publik, TVRI Bali 09/03/15
Apa yang melatarbelakangi munculnya geng motor remaja?
Pertama, kita perlu membedakan antara geng motor
dengan klub motor. Klub motor umumnya tercatat di kepolisian dan masyarakat,
menggunakan satu jenis (merek) motor, dan umumnya membawa agenda-agenda
advokasi, seperti; mensosialisasikan cara berkendara yang baik dan benar,
advokasi lingkungan, tak jarang juga mereka turun memberikan bantuan sosial
saat terjadi bencana alam. Tegas dan jelasnya, klub motor lebih sebagai bentuk
komunitas hobi.
Sebaliknya, geng motor tidak tercatat di kepolisian
ataupun masyarakat, mereka menggunakan beragam jenis motor, serta memiliki
aturan atau nilai-normanya sendiri.
Sesungguhnya, fenomena “geng-gengan” di usia remaja
merupakan hal yang wajar, anak dengan usia remaja memang cenderung menjadikan
teman sebaya atau sepermainan (peer-group)
sebagai acuan. Hal ini menjadi tak wajar ketika tindakan mereka mulai menyalahi
nilai dan norma sosial, bahkan mengarah ke tindakan-tindakan vandal; pengrusakan,
kekerasan, dan sejenisnya. Di sisi lain, sering kali muncul rasa bangga pada
remaja yang memiliki keanggotaan suatu geng; merasa berbeda dari yang lain,
istimewa, atau serasa mempunyai prestige
tersendiri. Dan umumnya, anak-anak yang tergabung dalam geng motor adalah
mereka yang kurang memiliki saluran untuk beraktualisasi dan mengekspresikan
diri.
Mengapa geng motor identik dengan kriminalitas?
Para anggota geng motor adalah mereka yang mengalami desosialisasi; tercerabut dari akar
sosial, kemudian memasuki suatu perkumpulan baru yang memiliki nilai dan
normanya sendiri. Sering kali, perkumpulan ini menjelma menjadi massa di mana
benar-salah menjadi tersamarkan, inilah mengapa, tindakan mereka cenderung
mengarah pada anarkisme dan vandalisme.
Di sisi lain, kultur masyarakat kita yang kental
dengan konsumerisme mendorong masyarakat untuk “terus memiliki dan memiliki”, inilah yang kemudian mendorong mereka yang tak kritis untuk memperoleh segala sesuatu secara instan; tanpa pikir panjang.
Bagaimana dengan masyarakat yang main hakim sendiri dalam merespon
munculnya geng motor?
Ketika negara atau aparat tak hadir, menjadi lumrah
ketika nantinya msyarakat “bergerak sendiri”. Akhirnya, masyarakat sendiri pun
menjadi sekumpulan massa layaknya geng motor di mana benar-salah tersamarkan. Inilah
mengapa, tindakan-tindakan seperti main hakim sendiri pun kemudian dilumrahkan—oleh
masyarakat.
Tak ada hal lain yang ditimbulkan anarkisme kecuali munculnya
bentuk-bentuk anarkisme baru sebagai balasan. Di sinilah peran penting pemerintah
atau aparat untuk memutus mata rantai anarkisme tersebut mengingat merekalah
yang sesungguhnya memiliki legitimasi untuk menggunakan berbagai instrumen
kekerasan.
Apa solusi jangka pendek dan jangka panjang yang bisa diambil untuk
mengatasi persoalan ini?
Pertama,
keluarga sebagai unit sosial terkecil harusnya mempunyai peran lebih dalam
mengontrol anggotanya (baca: anak). Kedua,
sekolah. Ihwal yang patut disayangkan, tak diragukan lagi jika guru memiliki
basis pedagogi—ilmu kependidikan—yang baik, namun sering kali mereka, entah
secara sadar atau tidak, “keceplosan” melabelkan siswa-siswi yang dianggap
nakal dengan berbagai label negatif, inilah yang membuat mereka—anak didik—justru
tercerabut dari akar dan kian ter-eksklusi. Pada gilirannya, mereka pun bakal
beralih pada kelompok atau komunitas-komunitas sosial yang tak terkontrol.
Jangka panjang. Satu hal yang sangat disesalkan
adalah, Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang tak memberikan
pelajaran sastra bagi siswa-siswi di sekolah—bukan pelajaran bahasa Indonesia,
tetapi sastra. Pelajaran sastra memiliki fungsi strategis dalam melunakkan pola
pikir berikut perasaan para peserta didik, sekaligus memberikan saluran berekspresi
yang konstruktif. Dengan demikian, apabila remaja tengah membutuhkan sarana
untuk bereskpresi, mereka akan lari ke puisi, cerpen, dan sejenisnya; ini
justru melahirkan kreativitas tersendiri. Pembelajaran sastra juga dapat
meredam tumbuhnya bibit-bibit radikalisme.
Begitu pula, patut disayangkan, sepuluh-dua puluh
tahun lalu kultur menulis diary atau
buku harian sempat menggejala, namun sekarang mulai jarang ditemui, berganti gadget dan media sosial yang menyiratkan
ketiadaan ruang privat. Apabila tak terkontrol, bentuk-bentuk ekspresi yang diejawantahkan
di ruang publik ini pun dapat menimbulkan provokasi-provokasi baru dan
serangkaian hal negatif kemudian.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar