Keinsyafan dan Kesadaran
(satu lagi tulisan saya yang tak bertanggung
jawab)
Wahyu Budi Nugroho
Orang-orang seperti
Marx dan Bourdieu menganggap kesadaran sebagai pemahaman akan segala sesuatu
yang tak bersifat sui generic, atau taken for granted, atau “apa adanya”;
melainkan sebentuk pengetahuan bahwa segala sesuatunya sengaja dikonstruksi
oleh kuasa adikodrati atau transenden—kekuatan yang melampaui segala yang
diciptanya: sebuah infrastruktur yang menopang superstruktur. Marx akan dengan
senang hati menyebutnya sebagai kekuatan ekonomi, sedangkan Bourdieu: “struktur
kognitif”. Pemahaman bahwa segala sesuatunya dikonstruksi, dan kita selaku
subyek maupun kolektif, dapat turut andil dalam penciptaan konstruksi tersebut;
merubahnya, atau bahkan meruntuhkannya: inilah yang dinamakan kesadaran! Secara
lebih spesifik, Marx menyebutnya sebagai true
consciousness ‘kesadaran yang benar’, sedangkan Bourdieu, doxa ‘lompatan habitus’. Bagi Bourdieu, doxa
bukanlah tujuan akhir, masih terdapat ortodoxa
dan heterodoxa; namun kali ini, saya
tak tertarik mendiskusikan apa yang hadir setelah kesadaran, bolehlah dikata
sementara ini: There is nothing behind it.
Apakah hadirnya
keinsyafan sama dengan proses munculnya kesadaran? Inilah yang ingin saya bahas
sekarang. Semenjak kesadaran bersifat intensional—consciousness is always consciousness of something—maka, begitu
pula dengan keinsyafan: keinsyafan selalu keinsyafan akan sesuatu. Bisa jadi,
keinsyafan terhadap rokok, minuman keras, sex bebas, atau yang lainnya. Di awal
paparan ini, kita menemukan titik temu antara keinsyafan dengan kesadaran,
bahwa baik keduanya memerlukan obyek bagi pondasi eksistensinya. Akan tetapi,
sebentar lagi, ya, sebentar lagi, kita akan sampai pada perenggangan titik
tersebut hingga mencipta jalan masing-masing, katakanlah; keinsyafan ke samping
kanan, dan kesadaran ke samping kiri (hehe). Ini terjadi manakala kita beralih
pada konsep kesadaran yang berbasis pada keragu-raguan cartesian, serta spontanitas
impersonal yang lahir melalui ex-nihilo. Dapatkah keinsyafan lahir dari
keragu-raguan? Bukankah keinsyafan merupakan keteguhan tanpa celah, keyakinan
akan dunia baru sehingga kita mantap mendiaminya?
Dalam doktrin teistis,
keragu-raguan selalu identik dengan setan, iblis, atau mereka yang tak beriman,
bahkan terdapat pula adagium: “Setan adalah keragu-raguan”. Seperti halnya
waktu senggang, keragu-raguan ditempatkan sebagai akar dari segala kejahatan. Begitu
pula, keinsyafan selalu identik dengan hak prerogatif Tuhan; hidayah, rahmat; yang
turut menjadi persoalan adalah, mungkinkah kita merasionalkan hidayah
sebagaimana konsep kesadaran? Jika ini dimungkinkan, maka persamaan antara
keinsyafan dengan kesadaran akan kian dekat, namun jika tidak, keinsyafan pun
akan berlari menjauhi kesadaran, dan begitu pula sebaliknya. Ada satu paparan
Kierkegaard yang memberi harapan titik temu antara keinsyafan dengan kesadaran,
yakni perihal “lompatan iman” yang dilakoni manusia sedari kehidupan estetis
menuju etis, dan pada akhirnya menuju kehidupan religius. Masing-masing
lompatan tersebut mengandaikan kehampaan manusia yang muncul lewat
keragu-raguan—Apakah aku terselamatkan?—sehingga
ia memilih beralih pada kehidupan selanjutnya (etis), dan selanjutnya
(religius). Kehampaan di setiap tahap tersebut pun berkelindan dengan konsep spontanitas
impersonal yang muncul melalui ex-nihilo: bahwa kekosongan itulah yang menuntut
kita untuk bertindak, juga memilih.
Poin penting yang
dapat diambil dari konsep keinsyafan-kesadaran Kierkegaard di atas adalah “merasai”
dan “mengalami”. Pengalaman merupakan sebab urgen bagaimana keinsyafan dan
kesadaran dapat timbul; mengutip Heidegger: kita tak berada dalam kehidupan,
melainkan kitalah kehidupan itu sendiri; kita tak berada dalam dunia, kitalah
dunia. Namun persoalannya, bukankah tak setiap pengalaman memunculkan
keinsyafan atau kesadaran. Di sini, konsep “mengalami” Kierkegaard telah gagal
menjelaskan proses hadirnya keinsyafan ataupun kesadaran. Bisa jadi, konsep Heidegger
tentang “dunia yang tak berjalan semestinya” sehingga menimbulkan angst ‘kegelisahan’ lebih dapat diterima
bagi munculnya kesadaran; bahwa sekedar pengalaman-pengalaman spesifik-lah yang
memungkinkan munculnya hal tersebut. Ini dapat diterima bagi kesadaran, namun
tidak sepenuhnya bagi keinsyafan mengingat keinsyafan dapat muncul secara
tiba-tiba—ingat ilmu laduni—ia seperti tirai yang tersibak begitu saja, dan seketika
kita dapat berkata: “Aku melihat terang!”.
Di sini, tampak jelas
jika keinsyafan tak memerlukan keragu-raguan, juga ex-nihilo. Secara rasional,
keinsyafan merupakan totalisasi tanpa totalisator yang tegas lagi jelas. Bisa
jadi, keinsyafan telah ada dan tergeletak begitu saja bagi kita; hingga kita memungut
untuk kemudian memilih atasnya, dan bertindak akannya. Namun, apa yang membuat
kita memutuskan untuk memungut atau tidak memungutnya? Bagaimana mungkin ada
totalisasi tanpa totalisator???
There is something behind it.
Terima kasih banyak gan .. berkat artikel ente tulisan ilmiyah saya selesai di tipepedia.com judulnya Etika Penelitian yang Sebaiknya Dilakukan Oleh Peneliti. semoga banyak pengunjungnya gan blognya keren
BalasHapus