Kisah di Balik Foto Legendaris
“The Vulture and the Child”
“Amende Honorable” bagi Fotografer dan Ilmuwan Sosial
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Foto di atas
diambil oleh Kevin Carter (1994) saat bencana kelaparan dan krisis politik
tengah berkecamuk di Sudan. Foto yang populer dengan sebutan The Vulture and the Child [Burung
Bangkai dan Gadis Kecil] ini pun segera diganjar anugerah Pulitzer jurnalistik. Sebelumnya, Carter merupakan fotografer Afrika Selatan yang mendokumentasi
konflik antara massa pendukung Mandela (ANC) dengan massa anti-Mandela
(Inkatha), ia tergabung dalam The Bang
Bang Club bersama fotografer lain seperti Ken Oosterbroek, Joao Silva, dan
Greg Marinovich. Dinamai demikian—The
Bang Bang Club—karena kelompok fotografer ini memang menghasilkan foto-foto
bombastis bagi dunia. Ketergantungan Carter pada narkoba-lah yang menyebabkannya
didepak dari kelompok ini, dan kemudian bersama Jaoa Silva hijrah ke Sudan. Karuan,
Sudan yang dianggap Carter sebagai tempat pembuangan karir fotografernya justru
menghantarnya pada penganugerahan Pulitzer yang didambakan hampir setiap
fotografer; anugerah yang telah diperoleh teman segengnya di The Bang Bang Club, Greg Marinovich
(1990), lewat foto kekerasan jalanan di bawah ini.
Namun, anugerah
Pulitzer yang diterima Carter tak lantas memuluskan karirnya atau membuatnya
senang, ia malah depresi dan memutuskan bunuh
diri tiga bulan kemudian. Ini dikarenakan, saat jumpa pers digelar untuk membahas fotonya yang mencengangkan dunia itu, muncul banyak pertanyaan yang
dirasa Carter sebagai bentuk “serangan” atas dirinya, yakni seputar kelanjutan
nasib gadis kecil tersebut; Apakah Carter menolongnya? Apakah gadis itu
selamat? Apakah gadis itu kembali ke keluarganya? Dan serangkai pertanyaan senada-sinis
lainnya. Nyatanya, Carter tak menolongnya dan tak mengetahui kelanjutan nasib
gadis kecil itu, ia sekedar mengambil potretnya dan meninggalkannya begitu saja;
inilah kesalahan besar yang membuat Carter begitu tertekan hingga memutuskan untuk
mengakhiri hidup.
Hal serupa dapat
pula terjadi pada seorang ilmuwan sosial, ketika ia melihat “kesengsaraan” di
hadapannya, apakah ia sekedar mengambilnya bagi kepentingannya semata; semisal
keperluan skripsi, tesis, disertasi, jurnal ilmiah, buku, artikel koran, maupun
kepentingan publikasi lainnya; ataukah ia turut andil dalam pemecahan
kesengsaraan tersebut?—dengan kata lain: emansipa(si)toris. Bagi mereka yang sekedar
memanfaatkannya untuk kepentingan diri, sudah selayaknya “amende honorable”
dilakukan. Hal ini memang seyogyanya ditradisikan guna mencegah kian
menjamurnya ilmuwan sosial-humaniora yang sekedar “gemar jual kemiskinan dan
kesengsaraan”, tak terkecuali menjadi autokritik bagi penulis pribadi yang
secara sengaja atau tak sengaja, pun secara langsung atau tak langsung pernah
melakukannya.
*****
Amende honorable was
originally a mode of punishment in France which required the offender, barefoot
and stripped to his shirt, and led into a church or auditory with a torch in
his hand and a rope round his neck held by the public executioner, to beg
pardon on his knees of his God, his king, and his country; now used to denote a
satisfactory apology or reparation.
Ijin share mas
BalasHapus