Senin, 10 Agustus 2015

Kisah di Balik Foto Legendaris “The Vulture and the Child”

Kisah di Balik Foto Legendaris “The Vulture and the Child”
“Amende Honorable” bagi Fotografer dan Ilmuwan Sosial


Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana

Foto di atas diambil oleh Kevin Carter (1994) saat bencana kelaparan dan krisis politik tengah berkecamuk di Sudan. Foto yang populer dengan sebutan The Vulture and the Child [Burung Bangkai dan Gadis Kecil] ini pun segera diganjar anugerah Pulitzer jurnalistik. Sebelumnya, Carter merupakan fotografer Afrika Selatan yang mendokumentasi konflik antara massa pendukung Mandela (ANC) dengan massa anti-Mandela (Inkatha), ia tergabung dalam The Bang Bang Club bersama fotografer lain seperti Ken Oosterbroek, Joao Silva, dan Greg Marinovich. Dinamai demikian—The Bang Bang Club—karena kelompok fotografer ini memang menghasilkan foto-foto bombastis bagi dunia. Ketergantungan Carter pada narkoba-lah yang menyebabkannya didepak dari kelompok ini, dan kemudian bersama Jaoa Silva hijrah ke Sudan. Karuan, Sudan yang dianggap Carter sebagai tempat pembuangan karir fotografernya justru menghantarnya pada penganugerahan Pulitzer yang didambakan hampir setiap fotografer; anugerah yang telah diperoleh teman segengnya di The Bang Bang Club, Greg Marinovich (1990), lewat foto kekerasan jalanan di bawah ini.


Namun, anugerah Pulitzer yang diterima Carter tak lantas memuluskan karirnya atau membuatnya senang, ia malah depresi dan memutuskan bunuh diri tiga bulan kemudian. Ini dikarenakan, saat jumpa pers digelar untuk membahas fotonya yang mencengangkan dunia itu, muncul banyak pertanyaan yang dirasa Carter sebagai bentuk “serangan” atas dirinya, yakni seputar kelanjutan nasib gadis kecil tersebut; Apakah Carter menolongnya? Apakah gadis itu selamat? Apakah gadis itu kembali ke keluarganya? Dan serangkai pertanyaan senada-sinis lainnya. Nyatanya, Carter tak menolongnya dan tak mengetahui kelanjutan nasib gadis kecil itu, ia sekedar mengambil potretnya dan meninggalkannya begitu saja; inilah kesalahan besar yang membuat Carter begitu tertekan hingga memutuskan untuk mengakhiri hidup.

Hal serupa dapat pula terjadi pada seorang ilmuwan sosial, ketika ia melihat “kesengsaraan” di hadapannya, apakah ia sekedar mengambilnya bagi kepentingannya semata; semisal keperluan skripsi, tesis, disertasi, jurnal ilmiah, buku, artikel koran, maupun kepentingan publikasi lainnya; ataukah ia turut andil dalam pemecahan kesengsaraan tersebut?—dengan kata lain: emansipa(si)toris. Bagi mereka yang sekedar memanfaatkannya untuk kepentingan diri, sudah selayaknya “amende honorable” dilakukan. Hal ini memang seyogyanya ditradisikan guna mencegah kian menjamurnya ilmuwan sosial-humaniora yang sekedar “gemar jual kemiskinan dan kesengsaraan”, tak terkecuali menjadi autokritik bagi penulis pribadi yang secara sengaja atau tak sengaja, pun secara langsung atau tak langsung pernah melakukannya.

*****

Amende honorable was originally a mode of punishment in France which required the offender, barefoot and stripped to his shirt, and led into a church or auditory with a torch in his hand and a rope round his neck held by the public executioner, to beg pardon on his knees of his God, his king, and his country; now used to denote a satisfactory apology or reparation.

1 komentar: