Ribut Logo PKI; Tanda Terdistorsinya Pemahaman
Masyarakat?
(Sumber: indonesiatimes.co.id) |
Wahyu Budi Nugroho
“PKI itu ganas, nggak beragama! Sukanya mbunuh!
Minumnya darah!”, demikian
kurang-lebih ucap ibu penulis saat penulis masih duduk di bangku sekolah dasar.
Penulis masih ingat betul, sekejap gambaran PKI bagi penulis yang kala itu
masih usia anak menjadi begitu kejam, brutal, dan menyisakan traumatis. Begitu
pula, tercetak dalam pikiran penulis bahwa “tidak beragama” merupakan sinonim
dari kejahatan, keberingasan, dan hal-hal menakutkan lainnya, intinya, yang
baik adalah “beragama”. Tentu, saat itu penulis urung mampu mempertanyakan jika
jangan-jangan agamalah yang justru menjadi biang kejahatan dan keberingasan
manusia. Namun agaknya, gambaran PKI semasa penulis usia anaklah yang juga telah
lama tertanam di alam pikir dan rasa masyarakat Indonesia; apapun itu, asalkan PKI, pasti buruk.
Saat memasuki SMA,
penulis yang menjadi seorang soekarnois secara tak langsung turut berkenalan
dengan pemikiran-pemikiran Karl Marx, adalah
marhaenisme-nya Soekarno yang pertama kalinya menghantarkan penulis pada ide-ide
Kiri, saat itu penulis masih duduk di
bangku kelas dua, dan buku tentang (pemikiran) Marx yang pertama kali penulis
baca adalah Das Kapital untuk Pemula
karya David Smith dan Phil Evans (Resist Book, 2004), buku ini berbentuk komik,
dan masih kerap penulis acu saat menulis paper
berkenaan dengan ide-ide Kiri di bangku kuliah. Dari situ, penulis mulai berani
mempertanyakan; kenapa ide-ide sosialisme ataupun komunisme dianggap kejam?
Bukankah isme-isme ini justru
berupaya memperjuangkan terbentuknya tata masyarakat yang berkeadilan, dengan
slogannya sama rasa, sama rata? Apakah
cara yang mereka gunakan salah? Bukankah menjadi wajar ketika revolusi sosial menumpahkan
darah? Hanya terdapat dua revolusi di dunia ini yang tak menumpahkan darah; Pertama, Fathu Makkah ‘Pembebasan Mekkah’ oleh Nabi Muhammad, dan Kedua, revolusi kelas menengah Inggris
di bawah kepemimpinan Oliver the Cromwell. Selebihnya, setiap revolusi di dunia
ini menumpahkan darah; dari Revolusi Industri, Revolusi Islam Iran, bahkan
Revolusi Kemerdekaan Indonesia sendiri.
Penulis pun kembali
merunut sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang nyatanya tak luput dari andil tokoh-tokoh
Kiri (baca: komunis). Sebut saja Alimin dan Darsono yang turut menjadi guru
politik Soekarno di Surabaya, lalu Mas Marco Kartodikromo yang menjadi pelopor terbentuknya
organisasi wartawan pribumi pertama di tanah air. Meski Mas Marco sekedar
lulusan SD, namun tulisan-tulisannya terbukti ampuh menghasut rakyat menentang kolonial
Belanda—mungkin juga karena ia lulusan SD sehingga menjadikan
tulisan-tulisannya terbaca begitu frontal dan vulgar. Mas Marco pulalah yang
menjadi tokoh kunci di balik pemberontakan PKI 1926 yang membuat londo begitu kewalahan, pun membuat dirinya
diasingkan ke Boven Digoel-Irian kemudian, hingga wafat akibat malaria di tahun
1935. Banyak pihak terlambat menyadari kala itu betapa pemberontakan PKI 1926
merupakan momen penting pembaharuan kesadaran masyarakat akan pentingnya
perlawanan fisik terhadap penjajah, meski hal serupa telah dilakukan oleh Imam
Bonjol, Diponegoro, ataupun Pattimura, namun “penyegaran kembali” selalu perlu
dilakukan mengingat generasi terus berganti.
Apakah Marco Kartodikromo
seorang atheis? Tidak. “Hidup Medan
Moeslimin! Hiduplah kaum Muslim sedunia!”, tulis Mas Marco.
Barangkali, ini pula kesalahpahaman
yang telah lama dan luas menjangkiti masyarakat Indonesia; komunis adalah
atheis, atau dengan kata lain, jika seseorang menjadi anggota PKI, maka
otomatis ia menjadi atheis. Memang, isu seputar “theistik” maupun “atheistik” masih
menjadi ihwal sensitif bagi masyarakat Indonesia yang penduduknya sangat alim
lagi religius. Namun, tak dapat dibenarkan, sekali
lagi penulis tegaskan, tak dapat dibenarkan jika komunis ujug-ujug adalah atheis. Nyatanya, kita
mengenal tokoh seperti Haji Misbach yang seorang komunis—haji, lho!. Begitu pula, penerapan komunisme di negara-negara
seperti Tiongkok, Kuba, Vietnam, Polandia, Yugoslavia-Tito, atau Jerman Timur pra-Keruntuhan
Tembok Berlin, tak lantas memberangus agama dari kehidupan masyarakatnya. Malah, jarang diketahui bahwa begitu
asertifnya komunisme di Tiongkok disebabkan oleh infrastruktur confusionisme
yang melandasinya, yakni satu doktrinnya yang berbunyi “pentingnya mewujudkan
kebaikan bersama”.
“Kesalahsambungan”—meminjam
istilah PK—anggapan komunis sebagai atheis agaknya lahir dari upaya generalisasi
penerapan komunisme Rusia yang memang cukup “galak” terhadap hal-hal berbau
agamis, ini juga digambarkan secara apik lewat karya-karya penulis Rusia yang
menyirat kegalauan transformasi keyakinan sedari “percaya Tuhan” menuju “tidak
percaya Tuhan”. Begitu pula, tulisan-tulisan tokoh-tokoh Kiri yang umumnya
bernada sinis terhadap agamalah yang agaknya kuat memunculkan anggapan bahwa
komunis adalah anti-Agama, atau “komunis adalah atheis”. Padahal, seseorang
yang melancarkan kritik terhadap agama tidak bisa serta-merta langsung dicap “tak
beragama”, bahkan, beberapa sumber menyebutkan jika sesungguhnya Marx, nabi
kaum komunis, bukanlah seorang atheis; ia hanya tak suka pergi ke gereja dan mendengar khotbah-khotbah yang
melegitimasi kaum pemilik modal.
Hal di atas tak
ubahnya tuduhan atheis terhadap Charles Robert Darwin oleh khalayak, sedang
Darwin sendiri beristrikan seorang penganut Katolik yang taat—dan dia bukan
atheis! Sudah tentu, diperlukan kedewasaan berpikir dalam memilah antara
pemikiran seorang tokoh yang lahir melalui aktivitas ilmiah-akademik berbanding
kehidupan pribadinya. Sebagai misal, andaikan tokoh-tokoh besar Islam seperti
Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, atau Al-Farabi hidup di era sekarang; maka mereka akan
menjadi tokoh Islam paling liberal ketimbang gembong-gembong Islam liberal
dunia yang masih ada—bahkan ketauhidannya perlu dipertanyakan. Hal tersebut
dikarenakan, terdapat sekat antara kehidupan agamis dengan aktivitas dalam berfilsafat.
Akan tetapi terbukti, aktivitas filsafat tak lantas menjadikan mereka atheis.
Namun, yang menjadi
pokok persoalan di sini adalah: apakah mereka yang tak beragama lantas bersikap
kejam lagi beringas? Dalam beberapa dasawarsa terakhir, dunia justru disuguhi berbagai
kekejaman dan keberingasan yang dibiangi oleh (konflik) agama. Sebaliknya,
agnotisme masyarakat Barat justru menampakkan keharmonisan konstelasi sosial
yang dibangun berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan—manusia Barat lebih islami
ketimbang orang Islam. Dengan demikian, hingga titik ini kita telah mencapai
beberapa kesepakatan; komunis belum tentu atheis, dan jikapun seseorang menjadi
atheis, itu tak lantas menjadikannya kejam lagi beringas mengingat di samping
nilai-nilai ketuhanan masih terdapat nilai-nilai kemanusiaan.
Upaya guna menyamakan
komunisme dengan atheisme dapat dilihat sebagai upaya guna menjelekkan citra
komunisme (baca: PKI) di tanah air. Upaya semacam ini salah satunya dapat ditemukan
dalam tulisan orang-orang seperti Taufik Ismail. Dalam bukunya, Katastrofi Mendunia, Ismail mencuplik
perkataan—atau puisi—Lenin ihwal anehnya seorang komunis yang masih agamis atau
memeluk agama. Tampaknya, Taufik Ismail menjadikan perkataan tersebut sebagai
dalil, prototipe, utawa percontohan penganut
komunisme seluruh dunia. Dengan kata lain, ia secara sengaja menggalakkan
proyek “leninisasi”-nya sendiri, seakan komunisme adalah leninisme, dan seorang
komunis itu ya seperti Lenin yang tak
beragama. Tentu, anggapan ini begitu mengerdilkan penerapan komunisme di
berbagai belahan dunia, baik secara kolegial, utamanya secara individual: bahwa
menjadi seorang komunis sesungguhnya tak lantas menjadi sama sekali seperti
Lenin. Perlu diingat dan ditegaskan kembali, hal terpenting yang dibawa
komunisme adalah ide tentang penciptaan masyarakat tanpa alienasi
(keterasingan), sama rasa-sama rata,
serta ketiadaan penindasan antarkelas sosial; bukannya isu agamis, terlebih
tentang ada-tidaknya Tuhan.
Lalu, bagaimana dengan
beberapa rezim komunis yang terkesan “menggigit” institusi agama? Penulis menganggap
hal tersebut sebagai euforia sesaat pasca kaum komunis berhasil menggalakkan
revolusi. Ini dikarenakan, kala itu institusi agama kerap “berselingkuh” dengan
kaum feodal maupun kelas borjuis dalam merepresi kelas bawah (proletar). Penulis
cukup berat mengatakan hal ini, tetapi argumen para fungsionalis-struktural ada
benarnya juga: “Perubahan sosial
merupakan sarana untuk mencapai keseimbangan baru”. Setidaknya, kita dapat
melihat praktek kehidupan beragama di Kuba dan Tiongkok yang sampai detik ini
masih dikuasai partai komunis.
Ide yang dibawa
komunisme baik, hendak mengentaskan ketertindasan kaum kelas bawah, tapi
mengapa ia—komunisme—dicap buruk?
Ini sangat politis;
sangat politis. Tentu kita masih ingat, konstelasi dunia pasca-Perang Dunia II
yang terbagi dalam Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat diistilahkan Soekarno
dengan “Oldefo” (old emerging forces),
negara-negara atau kekuatan lama yang telah lama merdeka, negara-negara Barat yang
sistem ekonominya bercorak kapitalis, sementara, Soekarno mengistilahkan Blok
Timur sebagai “Nefo” (new emerging forces),
yakni negara-negara Asia-Afrika yang baru merdeka, yang antikolonialis, dan umumnya
bercorak sosialis. Baik kedua poros kekuatan dunia tersebut saling tarik-ulur
memperebutkan hagemoni dunia, masing-masing blok melancarkan kritik dan
propaganda untuk menjelekkan satu sama lain. Blok Timur, atau setidaknya negara-negara
sosialis, memperoleh momen ketika Amerika Serikat dan Eropa Barat didera Great Depression tahun 1930-an; peristiwa
tersebut didaulat sebagai bukti kegagalan sistem kapitalisme. Selanjutnya, Blok
Barat memperoleh momen ketika Revolusi Hijau tercetus—keberhasilan rekayasa
genetika tanaman pangan oleh Borlaugh, istilah Revolusi Hijau sengaja digunakan
untuk melawan “Revolusi Merah”; revolusi pangan yang diyakini bakal menggugurkan
diktum tersohor Malthus. Di bidang teknologi, Blok Timur berhasil menampar Blok
Barat lewat keberhasilannya mengirim astronot pertama ke luar angkasa, Yuris
Gagarin. Beberapa tahun berselang, Blok Barat pun membalasnya dengan
mendaratkan Neil Amstrong ke bulan; demikian seterusnya kedua blok ini saling “mempromosikan”
kelebihan masing-masing dan mencecar kekurangan satu sama lain.
Alasan kedua
disebabkan oleh kesalahan Soviet sendiri dalam penerapan marxisme yang serampangan.
Padahal, Marx telah mewanti-wanti jika negara berformat “diktator-proletariat”
hanyalah bersifat sementara dalam transisi menuju masyarakat sama rasa-sama
rata, namun rezim komunis Soviet sedari Lenin-Stalin-Kruschev tampak berupaya
melanggengkannya. Begitu pula, lambat-laun dimensi humanisme pemikiran-pemikiran
Marx tergerus dalam rezim ini; komunisme yang sedianya hendak mengentaskan
ketertindasan, malah menjadi alat penindasan baru. Aneh, kan?!. Di sini kita dapat mengatakan jika yang salah bukan
komunisme-nya, tapi orang-orang yang menerapkannya. Itulah mengapa kemudian muncul
Frankfurt Schule yang berupaya
merevisi penerapan marxisme-Soviet, juga pemikiran dari manusia-manusia seperti
Adam Schaff, George Lukacs, Vejko Korac, dan Ernst Bloch.
Fenomena PKI di
Indonesia tak jauh berbeda dengan poin pertama; nyatanya tarik-ulur kepentingan
antara Blok Barat dan Timur juga terhelat di tanah air, bahkan Indonesia
menjadi medan pertempuran yang sangat krusial bagi keduanya. Kita telah jemu dengan
cerita seputar G30S-PKI yang berimplikasi besar pada tercorengnya nama PKI
kemudian. Baik G30S-PKI (Gerakan 30
September-PKI), Gestapu (Gerakan
September Tiga Puluh), maupun Gestok
(Gerakan Satu Oktober); masing-masing memiliki versi ceritanya sendiri. Namun,
satu analisis Peter Dale Scott dalam Peran
CIA dalam Penggulingan Soekarno (2007) yang masih penulis ingat adalah;
bagaimana mungkin PKI sebagai organisasi besar dengan struktur yang sangat terkoordinir
dari pusat hingga daerah bisa begitu “amburadulnya” dalam merencanakan coup ‘kudeta’—jika mereka memang berniat
melakukan kudeta di tahun 1965. Begitu pun, Aidit yang langsung “ditembak di
tempat” juga dirasa janggal, seolah tak diberi kesempatan untuk membela diri di
pengadilan. Ini mirip seperti kasus tertangkapnya gembong DI/TII, S.M
Kartosoewirjo di era Soekarno.
What is to be done, now?
Pertama, hilangkan jauh-jauh anggapan bahwa komunisme berbahaya bagi agama. Hal
ini mengingat, penerapan sebuah ide selalu membuka peluang bagi modifikasi atau
penyesuaiannya dengan kondisi nilai, norma, serta budaya setiap masyarakat. Kedua, bagi penulis pribadi, perkara
yang kiranya kini “lebih pantas untuk diributkan” pasca-Gestok adalah
tersensornya serangkai sejarah penting yang dimiliki bangsa Indonesia. Akibat Gestok,
Indonesia menjadi satu-satunya negara di dunia yang tak memiliki pelajaran
sastra—bukan pelajaran bahasa Indonesia,
lho!. Ini dikarenakan lahirnya karya-karya sastra berkelas dunia dari para
penulis Lekra seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, dan Agam
Wispi. Begitu pula, para pelukis Lekra yang karya-karyanya telah diakui dunia
seperti Hendra Gunawan, S. Soedjojono, dan Abdul Salam; kecuali Affandi; urung
memperoleh penghargaan semestinya—penganugerahan Bintang Jasa pada Hendra
Gunawan baru diberikan Presiden Joko Widodo pada Kamis (13/8) lalu. Manusia-manusia
seperti H. Misbach, Marco Kartodikromo, dan Tan Malaka yang berjasa besar bagi
perjuangan kemerdekaan juga masih luput dan belum memperoleh tempat semestinya
dalam catatan sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Di usianya yang telah
mencapai kepala tujuh, bangsa ini memiliki PR besar untuk merekonstruksi sejarahnya
dan mulai menempatkan segala sesuatu pada porsinya masing-masing; tanpa
dilebih-lebihkan, juga dikurangi. Bukankah menjadi aneh ketika suatu bangsa tak
mengenal kegemilangan bangsanya sendiri? Keadilan milik semua orang.
Diskusi alias Tanya-jawab:
Kapan PKI berdiri?
Embrio PKI dapat
dilacak lewat berdirinya ISDV (Indische
Sociaal Democratiscshe Vereeniging) di tahun 1914. Kemudian di tahun 1920
ia berubah nama menjadi PKH (Perserikatan
Komunis di Hindia), dan barulah pada tahun 1924 berubah nama menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia) seperti yang
kita kenal sampai sekarang ini.
Komunisme sudah runtuh di tahun 1990-1 lewat kebijakan
glasnost dan perestorika-nya Gorbachev, apa masih relevan menerapkan komunisme?
Komunisme itu kan’ berakar
dari pemikiran-pemikirannya Marx (marxisme), masih banyak varian lain pemikiran
Marx yang bisa, dan relevan diterapkan untuk saat sekarang, lagian, komunisme-Soviet itu sudah
diakui sebagai penyimpangan atas pemikiran-pemikiran Marx (baca: anak haram
marxisme). Ambilah misal Venezuela di bawah Hugo Chavez, utawa Bolivia di bawah
Evo Morales; mereka mendirikan rezim berhalauan Kiri dan mampu menyejahterakan
rakyatnya. Rezim mereka itu kalau di ranah akademik dijuluk sebagai: “ultrasosialis-radikal-realis”;
panjang, ya?
Tapi, saya masih juga suka
ambil contoh Kuba di bawah Fidel Castro. Kalau Anda sudah nonton film
dokumenternya Michael Moore, Sicko (2007),
di situ tampak jelas kalau sistem kesehatan dan jaminan sosial Amerika Serikat
kalah jauh dibanding Kuba. Sekolah dokter di sana gratis, dan di setiap kampung
ada dokter yang ditempatkan pemerintah, harga obat-obatan juga sangat murah, banyak
juga yang gratis; bahkan warga AS yang diajak Moore melawat ke Kuba sampai
menangis karena merasa lebih dimanusiakan di Kuba ketimbang di negaranya
sendiri. Ternyata, selama ini gambaran negara-negara sosialis yang “jahat” lagi
“busuk” di mata mereka sama sekali tak terbukti; kenyataan justru sebaliknya:
negara tempat asal merekalah yang jahat lagi busuk—he he.
Yang jelas, kalau boleh ngutip Derrida dalam The
Specter of Marx (boleh, dong), yang namanya ideologi itu nggak akan pernah
bisa mati; kalaupun ia sedang tak kelihatan, sebetulnya ia cuma sedang tertidur
dan melatenkan diri, pun sewaktu-waktu bisa muncul dan menguat kembali ke
permukaan—jadi pengen tidur siang.
Fasisme misalnya, yang dinilai banyak orang sudah mati pasca-Perang Dunia II,
nyatanya kini banyak muncul lagi dalam bentuk neo-Fascism, Nazi-Punk, de el el.
Bagaimana dengan anggota-anggota PKI di daerah
yang ikut bikin kisruh saat Gestok?
Mereka terprovokasi
saja, termakan isu revolusi. Tapi toh, tak pernah ada anjuran atau arahan dari
pusat untuk melakukan coup saat itu
juga, hari itu juga, dan di tanggal itu juga.
Penulis berjanji menyertakan paparan tentang
mungkinnya perpaduan antara ide-ide marxisme dengan agamis, kenapa paparan itu
tak ada dalam tulisan ini?
Saya capek melanjutkan
tulisan ini, mungkin kalau dilanjutkan, tulisan ini cocoknya jadi jurnal;
tinggal direparasi di sana-sini, dikasih bodynote
dan daftar pustaka. Saya mau lanjut baca Metamorfosis-nya
Kafka dulu, udah sejak bulan lalu nggak rampung-rampung!
Tapi yang jelas—aduh kepancing—tokoh seperti H. Agus
Salim pun pernah berkata, “Saya Islam,
jadi ya, saya sosialis!”. Manusia seperti Soekarno pun tak sungkan menggabungkan
pemikiran antara Islam, nasionalisme, dengan marxisme. Kalau mau lebih dahsyat
lagi, baca pemikiran Islam-sosialis Ali Syariati, dia menemukan kemiripan
antara Islam dengan marxisme, seperti; perintah jihad sebagai bentuk perjuangan
kelas, larangan mengambil riba sebagai doktrin anti-Kapitalis, dan
konsep-konsep seperti infaq, sedekah sebagai redistribusi kekayaan bagi mereka
yang tak berpunya. Begitu juga, Anda boleh membaca pemikiran Islam-kiri Asghar
Ali Engineer atau Fazlur Rahman yang tak kalah menarik. Oh iya, bahkan di
Amerika Latin Uskup Gustavo Gutierrez menelurkan “teologi pembebasan”; buah
perpaduan unik antara marxisme dengan doktrin gereja. Asyik, kan’?
Apakah penulis seorang komunis?
Dulu “marxis” mungkin
iya; marxis lho, bukan komunis. Tapi saya sudah lama meninggalkan marxisme
sejak di pertengahan bangku kuliah S1 sekitar tahun 2007-2008.
Kenapa penulis meninggalkan marxisme?
Ada deh, mau tahu aje,
Lu!
* Beralih ke
eksistensialisme yang sangat borjuis dan individualis.
Kalau begitu, mengapa penulis menuliskan tulisan
ini? (*Pertanyaan apa sih*&^%$#@?!)
Saya menulis jika
ingin menulis. Udah dulu, ya. Daaaaa…
*****
0 komentar:
Posting Komentar