Manusia Serius vs Manusia Ironis ala Richard Rorty
Wahyu Budi Nugroho
Sosiologi Universitas Udayana
Membincang Rorty adalah membincang soal penolakan “imperatif
kategoris” yang ditempatkan secara mapan, universal, dan menjadi landas-dasar
kehidupan individu, masyarakat luas, bahkan umat manusia. Berbagai bentuk
impeatif kategoris ini hadir melalui sistem sosial yang diwariskan secara turun-temurun,
agama, juga pemimpin yang kuat. Tak dapat dipungkiri, agaknya akan lebih mudah
menjelaskan imperatif kategoris melalui kerangka pikir strukturalisme, yakni
bagaimana bahasa mampu menciptakan kehidupan sosial. Imperatif kategoris,
sebagaimana istilah ini kerap digunakan Kant dan dicontohkan olehnya: “Bertindaklah sehingga maksim tindakanmu menjadi
model bagi seluruh umat manusia”; merupakan ihwal yang bersifat metafisik
lagi abstrak. Apabila maksim tindakan yang dimaksudkan Kant dalam imperatif
kategorisnya adalah “tindakan yang baik”, maka kita akan segera berpikir
tentang apa yang dimaksud dengan “baik” itu?.[1]
Tak hanya itu saja, pikiran kita turut tertuju pada dikotomi
antara yang baik dengan yang buruk. Mengapa sesuatu dapat dikatakan baik,
sedangkan yang lain buruk? Ihwal atau pondasi semacam apa yang dapat sebegitu
kuat menentukan keduanya? Dan, apabila kita telah sampai pada pondasi tersebut,
kita pun dapat kembali mempertanyakannya; bagaimana pondasi tersebut dapat
terbentuk? Pun, mengapa kita, atau orang lain harus turut memegang (baca:
menganut) pondasi tersebut?.
Dalam merespon imperatif kategoris di atas, secara
garis besar Rorty membagi dua tipe manusia, yakni manusia metafisik dan manusia
ironis. Manusia metafisik, atau yang lebih penulis suka sebut sebagai “manusia
serius”, merupakan mereka yang menerima dan meyakini penuh imperatif kategoris tanpa
mempertanyakannya, menganggapnya sebagai sesuatu yang bersifat taken for granted ‘apa adanya’, serta seakan
telah ditentukan begitu saja. Sebagai misal, ketika Hitler menguasai Jerman dan
aktif menelurkan propaganda-propaganda anti-Yahudi yang menemui wujudnya
sebagai imperatif-imperatif kategoris, mereka masyarakat Jerman yang
mengamininya dapat disebut sebagai “manusia-manusia serius” karena larut dalam propaganda
antisemit begitu saja—seakan Yahudi memang demikian adanya sebagaimana ungkap
Hitler.
Dalam pandangan Rorty, imperatif kategoris tersebut
bekerja layaknya “kosakata akhir”, yakni sesuatu yang tak memungkinkan
munculnya kosakata lanjutan; ia telah berhenti di situ saja, dan diterima
begitu saja tanpa koreksi. Dari sini, kita dapat melihat bagaimana ideologi menjadi
salah satu instrumen—termasif bahkan—dalam memproduksi imperatif-imperatif
kategoris. Begitu pula, berbagai bentuk pemikiran radikal maupun fanatik
mengenai ras, agama, kewarganegaraan, atau apa pun juga yang dianut oleh
seseorang atau kolektif sekedar menegaskan keberadaan manusia-manusia serius di
dunia ini.
Sebaliknya, Rorty menggunakan istilah “manusia ironis”
bagi mereka yang tak begitu saja menerima berbagai bentuk imperatif kategoris
yang ada. Manusia ironis ajeg berpikir bahwa segala sesuatunya terjadi secara kebetulan.
Andai seorang Nazi yang fanatik menjadi seorang manusia ironis, maka sudah
semestinya ia berpikir bahwa kelahirannya di Jerman, menjadi warga negara
Jerman, pun menjadi bagian dari ras Arya, adalah kebetulan semata. Ia tak meminta
dilahirkan di Jerman, melainkan keberadaannya di negara tersebut dan menjadi
bagian dari mayoritas ras tersebut adalah hal yang bersifat sui generic ‘terjadi begitu saja’.
Begitu pula, sudah seharusnya ia turut berpikir andaikan dirinya terlahir
sebagai seorang Yahudi yang dibencinya mati-matian, maka berbagai bentuk
imperatif kategoris yang ditelurkan Hitler pun bakal ditolaknya mentah-mentah.
Konsep manusia ironis Rorty dapat pula ditempatkan
sebagai wacana tanding bagi para penganut keagamaan yang brutal. Andaikan
seseorang terlahir di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindhu, maka
besar kemungkinan ia pun bakal terlahir dalam keluarga Hindhu dan menganut
agama tersebut. Begitu pula jika seseorang terlahir di Arab Saudi yang besar
kemungkinan bakal menjadikannya seorang Islam, atau di Amerika Serikat yang
menjadikannya seorang Kristen Protestan. Tak pelak, konsep manusia ironis
Richard Rorty menjadikan mereka yang mati-matian memaksakan agamanya terhadap
pihak lain menjadi tampak konyol
mengingat segalanya tak lebih merupakan kebetulan semata.
Lalu, apa sumbangsih pemikiran pragmatis Rorty bagi
dimensi keaktoran seseorang? Pemikiran Rorty bekerja layaknya epoche dalam fenomenologi, yakni
sebentuk “tanda kurung kurawal” atau “penangguhan sementara” terhadap
asumsi-asumsi dan justifikasi yang dimiliki seseorang. Pemikirannya seolah mengajak
individu menempatkan diri dalam posisi individu lain atau mereka yang dianggap
sebagai other ‘liyan’, serupa dengan
bentuk pemikiran pragmatisme pada umumnya. Lebih jauh, konsep manusia ironis
terutama, mewaskan aktor atas nilai-nilai yang diperjuangkannya; apakah lewat
nilai-nilai itu dirinya justru terhagemoni (baca: tertindas) tanpa disadarinya
ataukah tidak. Tak dapat dipungkiri, konsep manusia ironis Rorty memiripkan
bentuknya dengan fenomenologi Max Scheler yang mengharuskan seseorang, terutama
ilmuwan, untuk “bebas apung” sehingga mampu mengungkap sumber-sumber sosial
dari berbagai ideologi politik dan mengulas baik dimensi kekurangan maupun
kelebihannya masing-masing.
Lebih jauh, pemikiran Rorty tentang manusia ironis
bukannya tanpa kritikan sama sekali. Kritik yang begitu mengemuka atasnya
adalah eksistensi manusia ironis yang dituduh tak memiliki prinsip dan
keyakinan: “Karena ia dapat menempatkan
diri dalam posisi mana pun, maka ia tak memiliki prinsip”. Pertama, Rorty
menjawabnya dengan menambah imbuhan “liberal” pada manusia ironis—“manusia
ironis liberal”. Ini berarti, liberalisme (baca: kebebasan) menjadi prinsip dan
keyakinan manusia ironis. Liberalisme, bagi Rorty, merupakan pemahaman terbaik
karena menghindarkan manusia dari beragam ketakutan tak beralasan; ketakutan berkeyakinan
sesuai kehendak, ketakutan mengemukakan pendapat di depan publik, ketakutan
berekspresi dalam segala bentuk, dan lain sebagainya.
Namun, pertanyaan yang menyerua kemudian adalah; jika
manusia ironis telah menganut nilai tertentu, yakni liberalisme, masihkah ia
dapat disebut sebagai manusia ironis?. Kedua,
Rorty pun mengemukakan adanya ranah privat dan ranah publik di mana keironisan
manusia ironis berada di ranah privat, dan karena keironisannya di ranah privat—untuk
dirinya sendiri—maka ia tak ironis bagi orang lain—yang ada di ranah publik. Begitu
pula, hal ini didukung oleh prinsip utama manusia liberal menurut Rorty, yakni
penolakan bertindak kejam terhadap orang lain, terutama di dalamnya pemaksaan
dan merendahkan orang lain. Dengan demikian, manusia ironis liberal adalah
mereka yang memiliki keyakinan dan tak berupaya memaksakan keyakinannya pada
orang lain, namun mereka sangat “anti” terhadap pihak-pihak yang berupaya
memaksakan keyakinannya mengingat “tidak bertindak kejam terhadap orang lain,
terutama memaksakan kehendak” merupakan kosakata akhir manusia ironis liberal. Pun
bagi Rorty, manusia ironis liberal tak menutup kemungkinan pula merubah kosakata
akhirnya dan membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan ranah privat yang lebih
luas.
*****
[1] Sementara kita telah
ditunjukkan kesia-siaan proyek besar James William More dalam upayanya mencari
arti kata “baik”. Hingga akhir hayatnya, More tak mampu mendefinisikan apa itu
“baik” dalam pandangan universal—“baik” menurut seluruh umat manusia.
0 komentar:
Posting Komentar