ANALISIS SOSIAL "TELOLET"
(SOSIOLOGI TELOLET)
[Gambar: merdeka.com] |
Wahyu Budi Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
“Telolet”
adalah prinsip kelangkaan. Tidak setiap bus memiliki klakson telolet, dan
meskipun ada bus yang memilikinya, belum tentu mereka mau membunyikan klakson telolet-nya.
Inilah awalan yang membuatnya menarik, bahkan kini mulai menggejala
dimana-mana. Berpegang pada prinsip kelangkaan tersebut, ditambah tidak setiap
supir bus mau membunyikannya, telolet seakan menjadi begitu berharga di mata
anak-anak. Mereka yang berhasil membuat supir bus membunyikan telolet seolah mendapat
“hadiah”.
Permainan telolet
ini menjadi kian mengasyikkan ketika digunakan gawai (baca: hp) untuk menangkap
momen "peristiwa" dan bunyian telolet. Seperti permainan sepakbola yang memerlukan banyak fokus
untuk mempertahankan keseimbangan; dari kaki, kemiringan tubuh yang diatur
sedemikian rupa, pandangan mata, gerakan tangan seperti orang menari, hingga
koordinasi dengan anggota setim; begitu juga permainan telolet dengan
menggunakan gawai. Satu tangan anak-anak sarat mengacungkan jempol agar supir
bus bermurah hati membunyikan telolet-nya, sedangkan tangan yang lain memegang
gawai untuk merekam momen tersebut dengan baik (baca: sempurna), ditambah lagi keharusan
anak-anak meneriakkan “Om, telolet Om!”
kala bus hendak melintas. Permainan telolet mengindikasikan adanya fokus, ketepatan,
ketangkasan, kecepatan, serta spontanitas karena berlalunya bus tak dapat
diulang lagi; dan ketika bunyian telolet diperoleh, maka kepuasan tingkat
tinggi pulalah yang dituai anak-anak.
...mengapa? Ini
dikarenakan, setiap bus yang melintas adalah “sebuah kemungkinan”. Dalam arti,
bisa saja bus tersebut mengabulkan pinta anak-anak untuk membunyikan telolet,
atau sebaliknya: tidak. Upaya untuk “mencari kepastian” inilah yang kiranya juga
mengasyikkan sekaligus mengusik; antara “iya” dan “tidak”, antara “diberi” atau
“tidak diberi”; ibarat pemain hati yang menyatakan cinta ke banyak orang dan
tinggal menanti jawaban mereka—iseng-iseng
berhadiah. Oleh karenanya kemudian, setiap bus yang melintas selalu
mengusik dan menggoda anak-anak, setiap bus yang melintas adalah sebuah “misteri”;
apakah ia akan memberikan telolet-nya atau tidak.
Prinsip kedua
yang tak kalah penting dari fenomena telolet ini adalah “prinsip pertukaran”. Anak-anak
menuai kebahagiaan ketika memperoleh telolet-nya, begitu juga dengan sang supir
bus yang membunyikannya. Ini dikarenakan, setelah sekian lama profesi supir bus
cenderung terpinggirkan dan menjadi profesi “yang kurang dianggap” di
masyarakat—meskipun pemasukan mereka sesungguhnya tak sedikit—kini mereka
memperoleh perhatian lebih, bahkan pengakuan dari masyarakat luas, fenomena terkait
sedikit-banyak mengangkat gengsi profesi mereka dan menimbulkan kebanggaan
tersendiri, bahwa mereka setidaknya dapat "berkontribusi" meskipun hanya lewat bunyian telolet. Dapat dipastikan, akan semakin banyak supir bus yang bermurah hati
memberikan telolet-nya pada anak-anak, juga pada orang-orang dewasa yang menunggu
mereka di pinggir jalan, bahkan tanpa diminta sekalipun, ini dikarenakan hubungan antara supir bus dengan para “pemburu
telolet” sesungguhnya merupakan “hubungan yang saling menguatkan” karena masing-masing pihak merasa diapresiasi, pun
sekaligus membuktikan betapa interaksi (kontak sosial) adalah sesuatu yang
menyenangkan.
Namun demikian,
meskipun kini fenomena telolet mendunia, ia takkan berlangsung lama, akan semakin
banyak dijumpai supir bus—dan truk—yang memasang telolet pada armadanya, bahkan
masyarakat umum pada kendaraannya. Pun, akan semakin banyak telolet yang
diumbar sehingga ia menjadi “mudah” dan murah, ini sekaligus melawan prinsip "kemungkinan" atau “misteri” yang bersifat mengusik dan menggoda. Saat telolet
menjadi murah dan mudah itulah kejenuhan akan timbul. Lalu, apa yang mesti kita
lakukan? Ya, menikmati telolet selagi menjadi tren. Om, telolet Om!
indonesia
BalasHapus