Mengapa
Kita Selfie?*
Investigasi
Psikologi Eksistensial dan Psikoanalisis Radikal
Wahyu Budi
Nugroho
Sosiolog Universitas Udayana
Tentang “Diri
yang hilang”
Tulisan
ini berawal dari satu tesis mengenai “diri yang hilang”. Pengertian “diri yang
hilang” sebagaimana dimaksudkan di sini sama sekali tak berkaitan dengan
kooptasi struktur, sistem, atau semacamnya; melainkan berada di ranah psikologis
dan menyangkut peristilahan subjectum
dengan subjectus (subyek aktif dan
subyek pasif). Lebih jauh, tesis “diri yang hilang” juga tak serta-merta dapat dikaitkan
dengan diri yang teralienasi secara biologis—tubuh (sema) adalah kuburan jiwa (soma):
hidup adalah keterasingan panjang. “Diri yang hilang” di sini mengakui kesatuan
jiwa dan raga, kesatuan emosi dan biologis, juga kesatuan pikiran dengan
perbuatan. Namun kenyataannya, betapa sering kita kehilangan “diri” ini dan
secara sadar maupun tak sadar menciptakan mekanisme tersendiri untuk
mempertahankan eksistensinya, baik yang dinilai wajar dan lumrah bagi banyak
orang, hingga yang dianggap tak masuk akal.
Kesadaran
Nonreflektif: Muara “Diri yang hilang”
Mari
kita mulai dari sudut pandang psikologi eksistensial untuk melacak biang diri yang hilang. Psikologi
eksistensial ala sartrean mendikotomi
dua jenis kesadaran, yakni kesadaran reflektif dan kesadaran nonreflektif. Kesadaran
reflektif adalah kesadaran diri sebagai subyek, kesadaran yang memunculkan diri
kita, yang dengannya diri kita hadir dan mengada
di dunia. Tipe kesadaran ini adalah mode
of being ‘cara mengada’ being-for-itself
‘berada bagi dirinya (sendiri)’, yang dengan demikian meniadakan bentuk-bentuk being ‘ada-konkret’ lainnya—hanya ada
dirinya semata. Sebaliknya, kesadaran nonreflektif adalah cara mengada being-for-other(s) ‘berada bagi pihak lain’.
Dalam kesadaran ini, diri menjadi hilang karena intensionalitas terhadap obyek
lain sehingga obyek lain tersebutlah yang utuh, sedangkan diri yang sedang mengamati
atau berfokus pada yang lain menjadi hilang. Dengan kata lain, kita meniadakan
diri kita demi keberadaan yang lain.
Perbedaan
tipe kesadaran reflektif dengan nonreflektif dapat dijelaskan secara mudah lewat
contoh klasik seseorang yang tertinggal bus di sebuah halte. Ketika dirinya
berfokus pada koran yang dibacanya, maka bentuk kesadaran yang menjangkitinya
adalah nonreflektif, dirinya tak ada waktu itu, melainkan sekadar koran yang
dibacanya—ia ada untuk koran itu, tetapi tidak untuk dirinya. Ketika pada satu
momen ia sadar telah tertinggal bus yang dinantinya, maka sekejap kesadarannya
berubah menjadi reflektif: “Aku yang
tertinggal bus!”—ada untuk diriku yang tertinggal bus. Perubahan tipe
kesadaran dari reflektif ke nonreflektif, dan begitu pula sebaliknya,
melibatkan lompatan-lompatan kesadaran yang bersifat sekejap sehingga diri
berulangkali hilang dan berulangkali pula ditemukan. Melalui pengkajian
psikologi eksistensial ini, diri yang hilang menjadi mungkin, hanya saja ia tak
hilang seterusnya, melainkan selalu menunggu untuk ditemukan kembali. Berbeda halnya
dengan psikologi eksistensial, psikoanalisis radikal yang hadir hampir
bersamaan dengannya di awal tahun 1960-an lewat Jacques Lacan meyakinkan kita
bahwa sesungguhnya “diri” tak pernah hilang, melainkan memang “tak pernah ada”.
Ketiadaan Diri
yang Diaku Diri
Ketiadaan
“Aku” yang diteriakkan lantang oleh Jacques Lacan tak hanya berimplikasi pada bubrahnya tatanan disiplin psikologi
yang telah rapi, tetapi juga ranah pengkajian identitas, sosiologi, bahkan secara
luas menyokong arus posmodern dalam keilmuan sosial-humaniora terkait hilangnya
subyek dan kesadaran, hal sama yang juga didengungkan oleh Michel Foucault.
Bagi Lacan, kita takkan pernah benar-benar bisa menemukan “aku murni”. Aku
murni yang disangkakan selama ini faktual hanyalah ilusi belaka. Diri yang kita
maksud sebagai diri senyatanya tak pernah terbentuk secara otonom—dari dan oleh
diri kita sendiri—melainkan selalu melalui penunjukkan orang-orang di sekitar
kita sejak kecil, klaim sepihak dari dunia eksternal yang sebetulnya “tak
memiliki hubungan apa pun” dengan diri kita sendiri, dan secara manipulatif
ditegaskan oleh cermin.
Sebagai
misal terbentuknya diri saya, Wahyu Budi Nugroho, dikarenakan sejak kecil
orangtua menandai saya dengan nama itu dan memanggil saya “Wahyu”. Dan, ketika
saya melihat cermin atau foto keluarga, mereka kian menegaskan bahwa itu adalah
diri saya. Namun kenyataannya, “Aku-Wahyu Budi Nugroho” tidak pernah lahir atau
muncul dari Aku-Wahyu Budi Nugroho itu sendiri. Lalu, bagaimana dengan cermin
atau citra foto yang seolah menegaskan keberadaan diri kita? Sialnya, semua itu tetaplah bukan diri
kita. Citra yang muncul di cermin dan kita sangka sebagai “aku” sesungguhnya
“hanyalah pantulan cahaya”, begitu juga citra foto yang kita anggap sebagai
diri kita, senyatanya tak lebih dari “cahaya yang terperangkap”. Lalu,
dimanakah “aku”? Sampai tahap ini, kita sarat menerima kenyataan bahwa “aku
yang lahir dari aku sendiri” (aku murni) tidaklah pernah ada, “aku”selalu lahir
dari pihak lain dan di luar diri kita. “Aku” yang kita anggap selama ini hanyalah
ilusi, dan yang ada sekadar “perasaan menjadi aku” (perasaan keakuan). Ini
sekaligus menunjukkan betapa “aku” sesungguhnya sangatlah rentan, ringkih, dan begitu
rapuh.
“Perasaan
menjadi aku” dijelaskan Lacan sebagai “problem homonculus” atau “persoalan manusia kecil”, bahwa munculnya
perasaan keakuan disebabkan oleh keberadaan “si manusia kecil”—seperti dalam
film animasi pixar, Inside Out. Tidak
jelas apakah konsep manusia kecil ini berkenaan dengan psikologi adlerian (Alfred
Adler) yang memandang manusia sebagai makhluk inferior sehingga homonculus dapat muncul sebagai
kompensasi atas kegagalan manusia menemukan aku murni. Lebih jauh, Lacan pun
tak bisa menjawab pertanyaan: “Apakah di dalam diri manusia kecil terdapat
manusia kecil lainnya yang mengendalikan (menjadi ruh) manusia kecil yang lebih
besar?”. Namun demikian, semenjak aku murni tak pernah ditemukan dalam diri
baik secara sadar ataupun tidak, manusia kemudian memiliki berbagai mekanisme
untuk meyakinkan keberadaan aku murni, atau setidaknya: menjaga perasaan
menjadi aku.
Selfie: Upaya Peneguhan
“Aku” atas Tak Terjangkaunya “Aku Murni”
Kita
bisa mengambil jalan cerita lain tentang seorang pemuda tampan yang hidup dalam
mitos Yunani Kuno bernama Narcissus. Kegemaran Narcissus memandangi wajahnya
yang tampan di permukaan kolam hingga ia terpeleset jatuh dan mati tenggelam
sehingga namanya kemudian diabadikan untuk merepresentasikan mereka yang terlampau
memuja diri—“narsis”—dapat didekonstruksi betapa sesungguhnya Narcissus adalah
sosok yang begitu peka akan hilangnya “aku”. Dengan begitu, aktivitasnya memandangi
wajah di permukaan kolam adalah upaya Narcissus untuk mempertahankan perasaan
menjadi aku, bukannya suatu aktivitas pemujaan diri.
Kenyataan
bahwa kita tak pernah bisa melihat diri kita menimbulkan keterasingan dan
perasaan seolah diri adalah arwah tembus pandang yang tak bisa dilihat
orang-orang. Kita selalu melangkah dalam kesunyian berikut kewas-wasan dan
selalu mengkhawatirkan ketiadaan diri kita di dalam dunia, terutama di antara
orang-orang. Ketakutan nyata dalam kondisi ini adalah ketakutan akan
keterbuangan dan ketidakacuhan lingkungan karena kita selalu mendapati diri
yang hilang dan merasa tak diperhatikan. Dari sinilah aktivitas berkaca menjadi
mungkin, bahkan lebih jauh: melakukan selfie
(baca: swafoto). Aktivitas berkaca tidak hanya semata-mata bisa dimaknai
sebagai aktivitas membenahi rambut, memastikan tak ada yang salah di wajah
(misal ada kotoran yang menempel), tetapi lebih dari itu: upaya untuk
meneguhkan keberadaan diri kita.
Dalam
pengkajian psikologi eksistensial maupun psikoanalisis radikal, konteks berkaca
atau swafoto menjadi relevan. Aktivitas tersebut adalah upaya penemuan aku
murni yang sebetulnya takkan pernah terjangkau, baik dalam lompatan kesadaran yang
sekejap “menghadirkan” dan “mengenyahkan” perasaan menjadi aku, ataupun dalam keakuan
(diri) yang tak pernah ditemui dalam psikoanalisis radikal. Ketidakterjangkauan
aku murni menyebabkan manusia sibuk mencari “aku-aku yang lainnya”. Aku-aku
yang lainnya ini dapat ditemui dalam setiap kali aktivitas berkaca atau swafoto,
meskipun kerap tak disadari bahwa aku-aku tersebut hanyalah “aku artifisial”
yang tak pernah menjangkau aku murni. Ia berulangkali berkaca, berulangkali pula
mengambil gambar swafoto, tetapi semakin sering dan semakin banyak aktivitas
itu dilakukan, diri tetap saja hilang dan ajeg meminta ditemukan kembali, dan demikian
seterusnya.
Lebih
jauh, kadar perasaan menjadi aku pada diri setiap orang berbeda-beda. Terdapat
mereka yang melakukan swafoto dan menyimpan untuk dirinya sendiri, tetapi ada
juga yang sarat mengunggahnya ke media sosial. Perlu dicatat kiranya, mekanisme
swafoto memang dirasa lebih kuat (baca: berdaya) ketimbang bercermin, mengingat
dalam swafoto kita seakan berhasil memerangkap diri dan tak membiarkannya lari
kemana pun, tak seperti aktivitas berkaca yang umumnya hanya dilakukan sesaat. Namun
demikian, di sini kita dapat menakar kadar perasaan menjadi aku antara
seseorang yang cukup mengambil gambar swafoto untuk konsumsi dirinya,
berbanding mereka yang sarat mengunggahnya ke media sosial. Agaknya, perasaan
menjadi aku yang terkuat terdapat pada kelompok pertama, sedangkan perasaan
menjadi aku yang terlemah pada kelompok kedua.
Bisa
jadi, perasaan menjadi aku pada kelompok pertama (terkuat) mencerminkan
pandangan psikologi eksistensial di mana terkadang diri hilang dan terkadang
ditemukan. Sementara, perasaan menjadi aku pada kelompok kedua (terlemah) mencerminkan
analisis psikoanalisis radikal tentang diri yang tak pernah ada atau selalu
hilang. Dalam kategori kedua inilah mengambil banyak swafoto untuk kemudian diunggah
ke media sosial dinilai “tak masuk akal” bagi kebanyakan orang. Pelakunya sering
dianggap narsis, megalomania, bahkan kerap dikatai tak tahu diri atau tak tahu
malu. Terhadap berbagai tanggapan keras ini, izinkan saya memperhalusnya dengan
mengatakan bahwa mereka yang mengunggah banyak swafoto ke media sosial sesungguhnya
ingin meneguhkan keberadaannya di antara orang-orang, juga dunia. Namun, aktivitas
mengunggah banyak swafoto itu sekaligus berarti bahwa seseorang sama sekali tak mempunyai sesuatu pun untuk
dikatakan kepada dunia. Tindakan itu hanya berdayaguna bagi dirinya tetapi tidak
untuk orang lain, yakni sebentuk upaya guna mencari aku murni yang tak pernah
tercapai dan terkompensasikan lewat kian menguatnya perasaan menjadi aku.
Dalam
hal ini, kita tak bisa mengatai pelakunya mengidap suatu penyakit jiwa begitu
saja mengingat setiap kita memiliki “penyakitnya sendiri”—kehidupan adalah penyakit, kematian adalah obatnya.[1] Sebaliknya,
justru mereka yang kerap melakukan swafoto (untuk mengingat kembali, baca: selfie) adalah orang-orang yang selalu mewaspadai
hilangnya diri, yang dengan demikian berpartisipasi dalam upaya penciptaan dan
peneguhan subyek, dan ini sangatlah positif. Berswafoto atau ber-selfie
bukanlah hal tabu lagi memalukan, karena ... apalagi yang tersisa jika aku
telah hilang?
Bacaan lanjutan: Pikiranmu.
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)
bagus sekali untuk dibaca
BalasHapuscara registrasi kartu axis