"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Selasa, 13 September 2011

Tinjauan Sosiologis Ajaran Syekh Siti Jenar

Tinjauan Sosiologis Ajaran Syekh Siti Jenar

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Dua Versi Kelahiran Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar. Setidaknya, terdapat dua versi mengenai kelahirannya. Pertama, Jenar merupakan jelmaan seekor cacing dalam lempung yang digunakan Sunan Bonang untuk “menambal” kapalnya yang bocor. Alkisah, suatu kali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tengah menyusuri sungai dengan sebuah kapal, di tengah jalan kapal tersebut mengalami kebocoran kecil, segeralah Sunan Bonang menepi dan mengambil segenggam tanah (baca: lempung) guna menambal bagian kapal yang bocor. Setelahnya, Sunan Bonang bercerita pada Sunan Kalijaga akan suatu hal, namun ia menghendaki agar siapa pun tak mengetahuinya. Hal tersebut dikarenakan, apabila ada pihak yang mengetahuinya, maka ia akan menjadi wali yang kesepuluh. Tanpa disadarinya, di dalam lempung tersebut terdapat seekor cacing yang mendengar pembicaraan keduanya, jadilah ia Syekh Siti Jenar. Itulah mengapa, Jenar kerap pula dijuluki sebagai Syekh Lemah Abang (“Syekh Tanah Merah” [lempung]). Sedang, versi kedua mengatakan bahwa dahulunya Jenar merupakan putera dari salah seorang raja di Jawa, namun karena ia membelot, diusirlah ia dan dihapuslah silsilah berikut hak warisnya dari kerajaan. Dalam masa pengembaraannya tersebut, Jenar giat berburu “ilmu” dan pengetahuan sehingga memiliki kesaktian dan wawasan yang tak kalah hebat dari kesembilan wali (walisongo).

Berbagai Ajaran Syekh Siti Jenar dalam Perspektif dan Analisis Sosiologis
Sebagaimana kita ketahui, terdapat beberapa ajaran dari Syekh Siti Jenar yang tak asing lagi di telinga kita, antara lain: dunia ini sebagai akherat, dan akherat nanti sebagai dunia; ketiadaan hak milik dikarenakan segala sesuatu adalah milik Tuhan; dan terutama, manunggaling kawula gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan). Lebih jauh, tulisan singkat ini berupaya menelaah berbagai ajaran Syekh Siti Jenar di atas dalam perspektif dan analisis sosiologis.        

“Dunia ini sebagai akherat, dan akherat nanti sebagai dunia”
Ajaran terkait berupaya memberikan pemahaman pada kita bahwa dunia tempat kita hidup, bernafas, makan dan melakukan seabrek aktivitas harian saat ini adalah akherat, sedangkan alam tempat kita hidup setelah meninggal nanti adalah dunia. Secara ringkas, dapat pula dikatakan, “saat ini adalah alam nyata, sedangkan alam nanti adalah alam fana”. Mengapa Jenar dapat berkata demikian? Hal tersebut disebabkan ia telah melihat gambaran surga dan neraka di dunia ini. Dalam keseharian, ia melihat betapa terdapat orang-orang yang hidup dalam kebahagiaan dan kenikmatan, sedang di tempat lain, ia melihat pula betapa orang-orang begitu berat menjalani kehidupan; miskin, sengsara, miris. Berpijak melalui pengamatan tersebut, Jenar menyimpulkan bahwa sesungguhnya alam yang kita hidupi saat ini adalah akherat, sedang alam ketika kita meninggal nanti adalah dunia.


Secara sosiologis, pernyataan Jenar di atas tak pelak melegitimasi status quo dalam masyarakat. Dalam arti, biarlah struktur sosial yang tengah berlangsung saat ini demikian adanya, yang kaya biarlah tetap kaya, begitu pula sebaliknya pada yang miskin: biarlah tetap miskin. Kita tak perlu merubahnya mengingat kesemua itu merupakan sebentuk “ganjaran” sebagaimana cara surga dan neraka bekerja.

“Ketiadaan hak milik dikarenakan segala sesuatu adalah milik Tuhan”
“Segala sesuatu adalah milik-Nya, dan akan kembali jua pada-Nya”, demikian ungkap banyak ustadz atau ustadzah yang kerap kita dengar melalui ceramah-ceramah yang ada. Hal tersebut memang benar kiranya, namun akan menjadi persoalan tersendiri apabila ditafsirkan secara “serampangan”. Sebagaimana terjadi pada Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya, ia (Jenar) mengatakan pada mereka bahwa segala sesuatu di dunia adalah milik-Nya, begitu pula dengan beragam barang dagangan di pasar sehingga kita tak perlu membayar atau melakukan jual-beli untuk mendapatkannya. Akibat pernyataan tersebut, para pengikut Jenar pun berbondong-bondong menjarah pasar, mengambil segala sesuatu tanpa membayarnya. Tak pelak, chaos-lah yang terjadi kemudian.


Disadari atau tidak, ajaran Jenar di atas memiliki kemiripan dengan konsepsi “komunisme klasik” berikut gerakan hippies di mana hak milik tidaklah diakui. Sebagaimana diutarakan John Lennon—musisi yang juga salah seorang tokoh hippies—dalam lirik lagu imagine-nya, “Imagine there’s no countries, it isn’t hard to do…” serta, “Imagine no possesion, I wonder if you can…”. Menilik hal tersebut, apakah ketiadaan hak milik merupakan keniscayaan? Apakah konsep sama rasa-sama rata bukanlah perihal yang utopis? Konstelasi masyarakat yang berkeadilan ataukah justru sebaliknya yang terjadi? Tidak patutkah seseorang mendapat ganjaran/upah sebagaimana apa yang telah diupayakannya?. Menimbang rangkaian pernyataan tersebut, kiranya ketidakadilan berikut kekacuan sosial-lah yang justru bakal ditimbulkannya.

Manunggaling kawula gusti ‘Bersatunya manusia dengan Tuhan’  
Bisa jadi, ini merupakan ajaran paling terkenal dari Syekh Siti Jenar: manunggaling kawula gusti, ya kawula, ya gusti ‘bersatunya manusia dengan Tuhan, ya manusia, ya Tuhan (manusia adalah Tuhan)’. Bagi banyak pihak, pernyataan tersebut dinilai sebagai bentuk kesalahan akut dalam penafsiran ayat Quran dan Hadist semisal: ruh sebagai bagian Tuhan yang diberikan pada manusia, sehingga Ia (Tuhan) ada dalam diri manusia; ketika seorang hamba beriman maka baik pendengaran, penglihatan, tangan berikut kakinya merupakan pendengaran, penglihatan, tangan serta kaki-Nya pula.


Dalam perspektif mikrososiologis, hal di atas menemui relevansinya dalam fenomenologi besutan Soren Kierkegaard. Secara sederhana, fenomenologi merupakan sebuah metode guna memahami pemikiran maupun perilaku individu melalui sudut pandang subyektifnya—sebagaimana ia memandang dunianya. Kierkegaard yang juga seorang religius mengatakan bahwa guna memahami Bibel, haruslah dilakoni secara subyektif mengingat hubungan yang terjalin antara Tuhan dengan manusia bersifat emosional (perasaan) yang tentunya begitu abstrak, sehingga pemahaman atas firman-firman Tuhan yang dilakukan secara kolektif dan objektif justru tidaklah valid. Sebagaimana Kierkegaard, hanya saja jauh lebih ekstrem, Jenar menafsirkan ayat-ayat Quran melalui sudut pandang subyektifnya—kelewat subyektif malah—sehingga tak heran memunculkan pernyataan kontroversial layaknya manunggaling kawula gusti di atas.  

*****

Referensi:
  • Film, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar (1985).    
  • Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  • Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


5 komentar:

Asaz mengatakan...

kalau seh siti jenar dari cacing itu versi dongeng yang mendekati benar adalah versi ke 2

Wbn mengatakan...

makasih bung asaz buat masukannya, i do appreciate ;)

Subhan mengatakan...

Syaikh Siti Jenar memang kontroversial, banyak versi dan tafsir atas sosok dan ajarannya. Saya belum pernah menelaah secara lebih jauh perihal tokoh ini. Referensi saya mengenai Siti Jenar adalah serial roman yang sejatinya adalah hasil telaah penulis atas naskah-naskah sejarah. Konon serial buku tersebut sengaja ditulis menjadi karya sastra agar tak memperkeruh kontroversi, namun lebih sebagai sebuah tawaran bacaan alternatif.

Serial yang saya maksud adalah "Suluk Abdul Jalil" karya Agus Sunyoto. Sebuah roman-sejarah yang lebih menampilkan sisi menusiawi seorang Syaikh Siti Jenar yang selama ini terkesan angker.

http://www.goodreads.com/book/show/2323865.Suluk_Abdul_Jalil

Sebagaimana karya sastra yang dipercaya dapat menjadi cermin masyarakat, buku-buku tersebut juga menampilkan gambaran sosiologis dan ekonomi-politik di masa Siti Jenar hidup.

Wbn mengatakan...

sepertinya saya pernah melihat buku yang dimaksud (melihat saja, belum membaca). kadang memang diperlukan waktu senggang yang benar2 untuk merampungkan karya2 segede gaban.

salam kenal bung ahmad subhan.

Unknown mengatakan...

Kebenaran hakiki adalah milik sang maha mengetahui, Allah SWT. Tokoh siti jenar memang sangat epic dan kontroversial, oleh karena itu untuk lebih mendalami pengetahuan tentang Syeh Siti jenar hendaknya pembaca tidak cuma membaca satu atau dua buku saja, sebagai pembanding dan referensi ada baiknya pembaca menilik buku ACHMAD CHOJIM atau penulis yang lain juga...sehingga kita dapat mengambil konklusi yang tepat untuk diri kita.

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger