Tinjauan Sosiologis Ajaran Syekh
Siti Jenar
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Dua Versi Kelahiran Syekh Siti
Jenar
Syekh Siti Jenar. Setidaknya, terdapat dua versi mengenai
kelahirannya. Pertama, Jenar merupakan jelmaan seekor cacing dalam lempung yang
digunakan Sunan Bonang untuk “menambal” kapalnya yang bocor. Alkisah, suatu
kali Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga tengah menyusuri sungai dengan sebuah
kapal, di tengah jalan kapal tersebut mengalami kebocoran kecil, segeralah
Sunan Bonang menepi dan mengambil segenggam tanah (baca: lempung) guna menambal
bagian kapal yang bocor. Setelahnya, Sunan Bonang bercerita pada Sunan Kalijaga
akan suatu hal, namun ia menghendaki agar siapa pun tak mengetahuinya. Hal tersebut dikarenakan, apabila ada pihak yang mengetahuinya, maka ia
akan menjadi wali yang kesepuluh. Tanpa disadarinya, di dalam lempung tersebut
terdapat seekor cacing yang mendengar pembicaraan keduanya, jadilah ia Syekh
Siti Jenar. Itulah mengapa, Jenar kerap pula dijuluki sebagai Syekh Lemah Abang (“Syekh Tanah Merah”
[lempung]). Sedang, versi kedua mengatakan bahwa dahulunya Jenar merupakan
putera dari salah seorang raja di Jawa, namun karena ia membelot, diusirlah ia dan
dihapuslah silsilah berikut hak warisnya dari kerajaan. Dalam masa
pengembaraannya tersebut, Jenar giat berburu “ilmu” dan pengetahuan sehingga
memiliki kesaktian dan wawasan yang tak kalah hebat dari kesembilan wali (walisongo).
Berbagai Ajaran Syekh Siti
Jenar dalam Perspektif dan Analisis Sosiologis
Sebagaimana kita ketahui, terdapat beberapa ajaran dari Syekh Siti Jenar
yang tak asing lagi di telinga kita, antara lain: dunia ini sebagai akherat,
dan akherat nanti sebagai dunia; ketiadaan hak milik dikarenakan segala sesuatu
adalah milik Tuhan; dan terutama, manunggaling
kawula gusti (bersatunya manusia dengan Tuhan). Lebih jauh, tulisan singkat
ini berupaya menelaah berbagai ajaran Syekh Siti Jenar di atas dalam perspektif
dan analisis sosiologis.
“Dunia ini sebagai akherat, dan
akherat nanti sebagai dunia”
Ajaran terkait berupaya memberikan pemahaman pada kita bahwa dunia
tempat kita hidup, bernafas, makan dan melakukan seabrek aktivitas harian saat ini adalah akherat, sedangkan alam
tempat kita hidup setelah meninggal nanti adalah dunia. Secara ringkas, dapat
pula dikatakan, “saat ini adalah alam nyata, sedangkan alam nanti adalah alam
fana”. Mengapa Jenar dapat berkata demikian? Hal tersebut disebabkan ia
telah melihat gambaran surga dan neraka di dunia ini. Dalam keseharian, ia
melihat betapa terdapat orang-orang yang hidup dalam kebahagiaan dan kenikmatan,
sedang di tempat lain, ia melihat pula betapa orang-orang begitu berat
menjalani kehidupan; miskin, sengsara, miris. Berpijak melalui pengamatan
tersebut, Jenar menyimpulkan bahwa sesungguhnya alam yang kita hidupi saat ini adalah
akherat, sedang alam ketika kita meninggal nanti adalah dunia.
Secara sosiologis, pernyataan Jenar di atas tak pelak melegitimasi status quo dalam masyarakat. Dalam arti,
biarlah struktur sosial yang tengah berlangsung saat ini demikian adanya, yang
kaya biarlah tetap kaya, begitu pula sebaliknya pada yang miskin: biarlah tetap
miskin. Kita tak perlu merubahnya mengingat kesemua itu merupakan sebentuk “ganjaran”
sebagaimana cara surga dan neraka bekerja.
“Ketiadaan hak milik dikarenakan
segala sesuatu adalah milik Tuhan”
“Segala sesuatu adalah milik-Nya,
dan akan kembali jua pada-Nya”,
demikian ungkap banyak ustadz atau ustadzah yang kerap kita dengar melalui ceramah-ceramah
yang ada. Hal tersebut memang benar kiranya, namun akan menjadi persoalan
tersendiri apabila ditafsirkan secara “serampangan”. Sebagaimana terjadi pada
Syekh Siti Jenar dan para pengikutnya, ia (Jenar) mengatakan pada mereka bahwa
segala sesuatu di dunia adalah milik-Nya, begitu pula dengan beragam barang dagangan
di pasar sehingga kita tak perlu
membayar atau melakukan jual-beli untuk mendapatkannya. Akibat pernyataan
tersebut, para pengikut Jenar pun berbondong-bondong menjarah pasar, mengambil
segala sesuatu tanpa membayarnya. Tak pelak, chaos-lah yang terjadi kemudian.
Disadari atau tidak, ajaran Jenar di atas memiliki kemiripan dengan
konsepsi “komunisme klasik” berikut gerakan hippies
di mana hak milik tidaklah diakui. Sebagaimana diutarakan John Lennon—musisi yang juga salah seorang tokoh hippies—dalam lirik lagu imagine-nya, “Imagine there’s no countries, it isn’t hard
to do…” serta, “Imagine no possesion,
I wonder if you can…”. Menilik hal tersebut, apakah ketiadaan hak milik
merupakan keniscayaan? Apakah konsep sama rasa-sama rata bukanlah perihal yang
utopis? Konstelasi masyarakat yang berkeadilan ataukah justru sebaliknya yang
terjadi? Tidak patutkah seseorang mendapat ganjaran/upah sebagaimana apa yang
telah diupayakannya?. Menimbang rangkaian pernyataan tersebut, kiranya ketidakadilan
berikut kekacuan sosial-lah yang justru bakal ditimbulkannya.
Manunggaling kawula gusti ‘Bersatunya manusia dengan Tuhan’
Bisa jadi, ini merupakan ajaran paling terkenal dari Syekh Siti Jenar: manunggaling kawula gusti, ya kawula, ya
gusti ‘bersatunya manusia dengan Tuhan, ya manusia, ya Tuhan (manusia
adalah Tuhan)’. Bagi banyak pihak, pernyataan tersebut dinilai sebagai bentuk kesalahan
akut dalam penafsiran ayat Quran dan Hadist semisal: ruh sebagai bagian Tuhan yang
diberikan pada manusia, sehingga Ia (Tuhan) ada dalam diri manusia; ketika seorang
hamba beriman maka baik pendengaran, penglihatan, tangan berikut kakinya merupakan
pendengaran, penglihatan, tangan serta kaki-Nya pula.
Dalam perspektif mikrososiologis, hal di atas menemui relevansinya dalam
fenomenologi besutan Soren Kierkegaard. Secara sederhana, fenomenologi
merupakan sebuah metode guna memahami pemikiran maupun perilaku individu melalui sudut pandang
subyektifnya—sebagaimana
ia memandang dunianya. Kierkegaard yang juga seorang religius mengatakan bahwa guna
memahami Bibel, haruslah dilakoni secara subyektif mengingat hubungan yang
terjalin antara Tuhan dengan manusia bersifat emosional (perasaan) yang
tentunya begitu abstrak, sehingga pemahaman atas firman-firman Tuhan yang
dilakukan secara kolektif dan objektif justru tidaklah valid. Sebagaimana Kierkegaard,
hanya saja jauh lebih ekstrem, Jenar menafsirkan ayat-ayat Quran melalui sudut
pandang subyektifnya—kelewat subyektif malah—sehingga tak heran memunculkan pernyataan
kontroversial layaknya manunggaling
kawula gusti di atas.
*****
Referensi:
- Film, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar (1985).
- Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
- Martin, Vincent. 2003. Filsafat Eksistensialisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5 komentar:
kalau seh siti jenar dari cacing itu versi dongeng yang mendekati benar adalah versi ke 2
makasih bung asaz buat masukannya, i do appreciate ;)
Syaikh Siti Jenar memang kontroversial, banyak versi dan tafsir atas sosok dan ajarannya. Saya belum pernah menelaah secara lebih jauh perihal tokoh ini. Referensi saya mengenai Siti Jenar adalah serial roman yang sejatinya adalah hasil telaah penulis atas naskah-naskah sejarah. Konon serial buku tersebut sengaja ditulis menjadi karya sastra agar tak memperkeruh kontroversi, namun lebih sebagai sebuah tawaran bacaan alternatif.
Serial yang saya maksud adalah "Suluk Abdul Jalil" karya Agus Sunyoto. Sebuah roman-sejarah yang lebih menampilkan sisi menusiawi seorang Syaikh Siti Jenar yang selama ini terkesan angker.
http://www.goodreads.com/book/show/2323865.Suluk_Abdul_Jalil
Sebagaimana karya sastra yang dipercaya dapat menjadi cermin masyarakat, buku-buku tersebut juga menampilkan gambaran sosiologis dan ekonomi-politik di masa Siti Jenar hidup.
sepertinya saya pernah melihat buku yang dimaksud (melihat saja, belum membaca). kadang memang diperlukan waktu senggang yang benar2 untuk merampungkan karya2 segede gaban.
salam kenal bung ahmad subhan.
Kebenaran hakiki adalah milik sang maha mengetahui, Allah SWT. Tokoh siti jenar memang sangat epic dan kontroversial, oleh karena itu untuk lebih mendalami pengetahuan tentang Syeh Siti jenar hendaknya pembaca tidak cuma membaca satu atau dua buku saja, sebagai pembanding dan referensi ada baiknya pembaca menilik buku ACHMAD CHOJIM atau penulis yang lain juga...sehingga kita dapat mengambil konklusi yang tepat untuk diri kita.
Posting Komentar