Cinta adalah “Keyakinan yang
Buruk”
Cinta dalam Pandangan Kaum Eksistensialis
Jean Paul Sartre, salah seorang filsuf Perancis berhalauan
eksistensialis[1]
menegaskan keberadaan cinta sebagai perihal/keyakinan yang buruk—dalam bahasa
Perancis: mauvaise foi. Mengapa
demikian? Setidaknya, hal tersebut didasarkan pada beberapa argumennya sebagai
berikut.
Cinta merupakan “Penindasan Halus”
Menurut Sartre, perihal di atas dibuktikan dengan ajegnya seorang
pecinta bersusah payah mengabulkan segala pinta orang yang dicintainya,
meskipun terkadang syarat melakukan berbagai hal yang irasional alias “tak
masuk akal”. Sebagai misal, kita kerap mengajak kekasih bersantap malam di
sebuah rumah makan/café mahal guna menyenangkan hatinya, namun kenyataannya,
untuk makan sehari-hari saja kita hanya dapat mengandalkan “warung angkringan”.
Dengan rela dan “ikhlas”, kita pun menyisihkan sedikit demi sedikit uang yang
dimiliki guna memberikan “makan malam yang berkesan” bagi sang kekasih. Tak
pelak, hal tersebut menemui bentuknya sebagai penindasan halus yang tak kasat
mata—ia ada, namun tak tampak. Begitu pula dengan kasus “pulsa”, “nonton
bioskop” dan lain sejenisnya. Bisa jadi, inilah mengapa banyak orang berkata, “Cinta tak pakai logika”, dan bisa jadi
pula, hal tersebut dapat menjelaskan banyaknya pejabat yang terdorong untuk
melakukan korupsi akibat perilaku konsumtif pasangan hidupnya.
“…the
woman in love demands that the beloved in his acts should sacrifice traditional
morality for her and is anxious to know to know whether the beloved would
betray his friends for her, ‘would steal for her’, ‘would kill for her’, etc.” (J.P Sartre, 1956: 369)
Esensi Cinta adalah Menguasai
Dunia Orang Lain
“Cinta membuat individu terasing
dengan dirinya!”, demikian pungkas
Sartre. Menurutnya, hal tersebut dikarenakan ditemuinya “tuntutan-tuntutan”
dalam cinta. Sebagai misal, sang kekasih meminta kita untuk merubah penampilan,
melakukan diet, membentuk tubuh, merubah sikap dan lain sebagainya. Tak pelak,
hal tersebut membuat kita “tak terbebaskan”, dan pada akhirnya sekedar bermuara
pada “keterasingan” kita atas diri sendiri. Semisal, anda tak suka mengenakan
pakaian yang terlampau formal, namun pasangan anda tak hentinya meminta dan
memohon, suka tidak suka, mau tidak mau, anda pun syarat mengenakannya.
Setelahnya, cobalah berdiri di hadapan cermin, saya mengetahui benar apa yang
anda rasakan: serasa tak menjadi diri sendiri, seolah apa yang anda saksikan
seketika itu juga adalah orang lain, begitu terasing!. Cobal andaikan pula semisal
anda adalah pribadi yang suka berpetualang bersama teman-teman (mendaki gunung,
reli, berkemah, dsb.), namun dilatarbelakangi oleh rasa cemburu yang “tak
jelas”, kemudian sang pasangan melarang anda untuk melakukan serangkaian kegiatan
di atas, apa yang anda rasakan? Tak bebas!. Berbagai hal tersebutlah yang
kemudian menyebabkan Sartre turut berkata bahwa esensi cinta adalah “terjebak
pada dunia orang lain”.
“…Love the Lover wants to be ‘the whole world’
for the beloved.” (J.P Sartre,
1956: 367)
Pernikahan sebagai Pelanggeng
Borjuisme
Tak khayal, berbagai pemikirannya di atas berimplikasi pada penolakan
Sartre terhadap institusi pernikahan. Di samping berbagai argumen filosofis,
menurutnya pernikahan sekedar melanggengkan lembaga borjuasi/isme. Apa yang
dimaksudkannya adalah, apabila kita menikah dan memiliki anak, sekedar terdapat
dua kemungkinan bagi masa depan anak kita. Pertama,
menjadi seorang yang sukses, yang dengan demikian ia menjadi seorang borjuis
(majikan). Kedua, menjadi seorang
yang gagal, yang dengan demikian ia menjadi seorang proletar (buruh). Dan baik
keduanya menurut Sartre, sama-sama melanggengkan lembaga borjuasi—relasi hierarkis yang kaku dan menindas antara
majikan dengan buruh. Kiranya, demikian penjelasan Sartre atas penolakannya terhadap
institusi pernikahan—perlu diingat, ia bukan seorang gay.
*****
Referensi:
§
Sartre,
Jean Paul. 1956. Being and Nothingness.
New York: Philosophical Library.
13 komentar:
ada apa dengan JP Sartre?? membaca tulisan anda saya jadi tertarik membaca bukunya... ada referensi nya??
salam,
Stylish Generation
silakan baca "sartre untuk pemula" by donald d palmer, terbitan kanisius. dijamin gokil! hehe
akibat trauma berat mungkin,,,jadi gak percaya cinta itu awal kebahagiaan
ada itu bung, dibahas dalam artikel 'menelanjangi pemikiran tokoh'. salam.
orang boleh saja mendefinisikan cinta
Kalau lihat tulisannya jangan2 Sartre gak punya anak ya? hehe
betul sekali bung, sartre memang tidak menikah dan tidak berkeluarga
salam :)
mungkin sosialisasi mengenai pemikiran Sartre ini bisa jadi cara efektif menanggulangi ledakan penduduk...hehe
Salam juga bung :)
apakah iya menikah itu melanggengkan kapitalis, buktinya belum tentukan orang yang manikah punya anak terus anaknya sukse langsung dikategorikan borjouis. marx sendiri yang bilang bila orang majikan itu yang mengeksploitasi kaum buruh. coba dengan anak yang tumbuh menjadi seniman yang sukses apa bisa dibilang borjouis
Jika kita bijak membaca realitas, maka yang diungkapkan Sartre sangat berarti,,
Bisa jadi setelah Marx lontarkan "Agama adalah candu", kebanyakan dari kita kemudian memperbanyak bacaan tentang apa sesungguhnya agama itu,,
Sekedar membijaki, apa yang di lontarkan Sartre dan Marx harusnya dibaca sebagai kritikan diruang aksiologi...
Dunia berkumandang tentang cinta itu suci, agama itu suci, namun dimana-mana kita disuguhi dengan tidak sucinya,,disinilah krisisnya
riswan: kasus tak bisa dibenturkan dengan teori :)
dano: mari kt kembalikan kemurnian cinta via konsep 3M Aa Gym; mulai dari diri, mulai terkecil, dan mulai saat ini. Wkwkwkwk
Salam Hangat,
Wahyu BN :)
bukunya pa cak judulnya
judul bukunya pa bang
Posting Komentar