Perdebatan antara “Aku” dan “Saya”
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Dapat dipastikan, setiap dari kita pernah berdialog bahkan “berdebat”
dengan diri sendiri. Hal tersebut umumnya terjadi kala kita tengah bimbang
memilih atau memutuskan sesuatu. Sebagian dari diri kita berkata, “Ya! Lakukan saja!”, sedang sebagian
yang lain berseru, “Jangan, jangan
lakukan itu, Kau orang baik-baik!”. Inilah misal perdebatan yang terjadi dengan diri
sendiri dan kerap kita alami. Pertanyaannya, bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Tulisan ini berupaya mengulas lebih jauh mengenainya.
George Herbert Mead, salah seorang sosiolog Amerika, menjelaskan
mungkinnya diri kita terpecah ke dalam “I” dan “Me” (Aku dan Saya). Menurutnya,
“Aku” adalah ego murni yang terdapat dalam diri kita, yakni semacam kehendak bebas
yang muncul akibat desakkan untuk mendahulukan kepentingan diri ketimbang orang banyak. Dalam posisi demikian, “Aku” ditempatkan sebagai
subyek, penunjuk keberadaan diri sebagai pusat atas segala sesuatu. Di sisi
lain, “Saya” menurut Mead, merupakan bagian lain dari diri kita yang diciptakan
oleh masyarakat. Ianya berisi serangkaian nilai dan norma yang telah kita
adopsi selama hidup secara kolektif bersama manusia lain. Berbeda halnya
dengan “Aku”, “Saya” bersifat objektif (diri yang diobjekkan/ ditunjuk)
sehingga ia serasa memikul sebuah tanggung jawab/beban.
Uraian singkat di atas kiranya cukup menjelaskan bagaimana “Aku” dan “Saya”
nantinya bekerja. Ya, ketika “Aku” hendak bertindak amoral untuk mencapai tujuan atau kepentingan, maka “Saya” pun akan mati-matian menghentikan dan
mengingatkan. Pertemuan antara “Aku” dan “Saya” tersebutlah yang nantinya bakal
menciptakan dialog bahkan perdebatan dalam diri kita. Apabila dimensi
ego dalam diri kita lebih besar ketimbang dimensi moral-sosial (nilai dan norma
sosial), maka dapat dipastikan bahwa kita bakal mewujudkan tujuan/kepentingan
diri dengan segala cara, bahkan dengan
perbuatan tercela sekalipun. Namun, apabila dimensi moral-sosial
kita yang lebih dominan, maka kita pun akan segera “tersadarkan” dan berhenti
menggunakan cara tercela dalam mencapai tujuan diri.
Melalui uraian singkat di atas, kiranya kita dapat menimbang dan menilai
kecenderungan dalam diri kita: seorang “Aku” yang egois dan selalu berusaha
mewujudkan kepentingan diri di atas kepentingan orang banyak, ataukah seorang “Saya”
yang selalu mendahulukan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan
diri sendiri.
*****
Referensi:
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20
Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
4 komentar:
tulisannya mntab ni, mmg bnr bbrp org yg bsar kpla psti sllu mmbnggakan keakuannya...
terima kasih mr/mrs health benefits. salam kenal. :)
jadi ingat samar2 matkul sosiologi kesehatan yang luar biasa sulit dipahami :-( dan posting masbro menjelaskan nya dengan singkat dan jelas .. suwun
terima kasih masbro :) sebetulnya ilmu sos-hum itu simpel, cuma yg punya teori aja bersentuhan dengan gaya penulisan akademik yg angkuh, awalnya dimotori oleh Hegel, Fichte & Schelling.
Posting Komentar