"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Jumat, 14 Oktober 2011

Perdebatan antara “Aku” dan “Saya”

Perdebatan antara “Aku” dan “Saya”

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Dapat dipastikan, setiap dari kita pernah berdialog bahkan “berdebat” dengan diri sendiri. Hal tersebut umumnya terjadi kala kita tengah bimbang memilih atau memutuskan sesuatu. Sebagian dari diri kita berkata, “Ya! Lakukan saja!”, sedang sebagian yang lain berseru, “Jangan, jangan lakukan itu, Kau orang baik-baik!”. Inilah misal perdebatan yang terjadi dengan diri sendiri dan kerap kita alami. Pertanyaannya, bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Tulisan ini berupaya mengulas lebih jauh mengenainya.

George Herbert Mead, salah seorang sosiolog Amerika, menjelaskan mungkinnya diri kita terpecah ke dalam “I” dan “Me” (Aku dan Saya). Menurutnya, “Aku” adalah ego murni yang terdapat dalam diri kita, yakni semacam kehendak bebas yang muncul akibat desakkan untuk mendahulukan kepentingan diri ketimbang orang banyak. Dalam posisi demikian, “Aku” ditempatkan sebagai subyek, penunjuk keberadaan diri sebagai pusat atas segala sesuatu. Di sisi lain, “Saya” menurut Mead, merupakan bagian lain dari diri kita yang diciptakan oleh masyarakat. Ianya berisi serangkaian nilai dan norma yang telah kita adopsi selama hidup secara kolektif bersama manusia lain. Berbeda halnya dengan “Aku”, “Saya” bersifat objektif (diri yang diobjekkan/ ditunjuk) sehingga ia serasa memikul sebuah tanggung jawab/beban.

(George Herbert Mead)
Uraian singkat di atas kiranya cukup menjelaskan bagaimana “Aku” dan “Saya” nantinya bekerja. Ya, ketika “Aku” hendak bertindak amoral untuk mencapai tujuan atau kepentingan, maka “Saya” pun akan mati-matian menghentikan dan mengingatkan. Pertemuan antara “Aku” dan “Saya” tersebutlah yang nantinya bakal menciptakan dialog bahkan perdebatan dalam diri kita. Apabila dimensi ego dalam diri kita lebih besar ketimbang dimensi moral-sosial (nilai dan norma sosial), maka dapat dipastikan bahwa kita bakal mewujudkan tujuan/kepentingan diri dengan segala cara, bahkan dengan perbuatan tercela sekalipun. Namun, apabila dimensi moral-sosial kita yang lebih dominan, maka kita pun akan segera “tersadarkan” dan berhenti menggunakan cara tercela dalam mencapai tujuan diri.

Melalui uraian singkat di atas, kiranya kita dapat menimbang dan menilai kecenderungan dalam diri kita: seorang “Aku” yang egois dan selalu berusaha mewujudkan kepentingan diri di atas kepentingan orang banyak, ataukah seorang “Saya” yang selalu mendahulukan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan diri sendiri.




*****
  
Referensi:
Susilo, Rachmad K. Dwi. 2008. 20 Tokoh Sosiologi Modern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.


   

4 komentar:

health benefits mengatakan...

tulisannya mntab ni, mmg bnr bbrp org yg bsar kpla psti sllu mmbnggakan keakuannya...

Wbn mengatakan...

terima kasih mr/mrs health benefits. salam kenal. :)

iKud mengatakan...

jadi ingat samar2 matkul sosiologi kesehatan yang luar biasa sulit dipahami :-( dan posting masbro menjelaskan nya dengan singkat dan jelas .. suwun

Wbn mengatakan...

terima kasih masbro :) sebetulnya ilmu sos-hum itu simpel, cuma yg punya teori aja bersentuhan dengan gaya penulisan akademik yg angkuh, awalnya dimotori oleh Hegel, Fichte & Schelling.

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger