Budaya Alay Patut Dihargai dan
Diapresiasi
Oleh: Wahyu Budi Nugroho[1]
Tak sedikit dari kita yang memiliki stigma negatif terhadap budaya “alay”.
Setidaknya, budaya tersebut mewujud dalam dua hal: penampilan dan tulisan. Secara
khusus, artikel ini akan lebih jauh membahas budaya alay yang mewujud dalam
bentuk tulisan (budaya penulisan alay).
Berlebihan, tak jelas, merusak tata
bahasa Indonesia yang baik dan benar—itulah serangkaian alasan yang dikemukakan bagi sebagian mereka yang “anti”
terhadap budaya penulisan alay. Anggapan tersebut memang tak sepenuhnya salah,
hanya saja, bagaimana bila mindset
atasnya dirubah? Selama ini, tulisan alay yang dicirikan dengan bentuk hurufnya
yang tak jelas berikut kerap tercampur dengan bilangan numerik (angka-angka) selalu
ditempatkan sebagai negasi atau lawan atas tata bahasa Indonesia yang baik dan
benar. Namun demikian, bagaimana jika kita berpikir sejenak dan menempatkannya
sebagai “percabangan-kreatif” bahasa Indonesia—bukan perkembangan. Dengan kata
lain, apabila dahulu kita menempatkannya secara kontradiktif, bagaimana jika
saat ini kita justru mengelaborasinya?
Diakui atau tidak, pengelaborasian budaya alay dalam struktur tata
bahasa Indonesia justru akan kian memperkaya khazanah berikut wawasan kebahasaan kita. Dengannya, bahasa
Indonesia takkan lagi menjadi perihal yang mandeg,
melainkan dinamis dan mampu berkompromi dengan perkembangan zaman. Namun, perlu
diingat sekali lagi bahwa pengelaborasian tersebut sekedar ditempatkan sebagai “percabangan-kreatif”,
bukannya “perkembangan-kreatif” yang dengan demikian justru menghilangkan
esensi bahasa Indonesia itu sendiri. Melalui penempatan budaya alay sebagai
percabangan kreatif, agaknya tak ditemui lagi “ancaman” terhadap konstruksi
bahasa Indonesia yang telah disepakati bersama.
Perihal lain yang agaknya mendukung perlunya pengelaborasian antara
budaya alay dengan bahasa Indonesia adalah alasan “kemajuan budaya”. Sebagaimana
kita ketahui, budaya bahasa yang saat ini tengah berkembang di negara tetangga,
Malaysia adalah “kreolisasi bahasa”—tradisi kreol bahasa. Budaya tersebut ditunjukkan
melalui penyesuaian pengucapan lidah bangsa Malaysia dalam penulisan kata-kata
asing. Sebagai misal, kata yang seyogyanya bertuliskan “snack”, kemudian berubah
menjadi “snek”; “facebook” menjadi “fesbuk”. Menilik kenyataan tersebut,
seharusnya bangsa Indonesia turut melahirkan budaya bahasa yang tak kalah
progresif, dan agaknya budaya penulisan alay dapat mengemban tugas tersebut.
kreolisasi
bahasa: facebook = “fesbuk”
~ Malaysia
alay: facebook = “f4c3bU6h”
~ Indonesia
Bagaimanapun juga, budaya alay merupakan salah satu bentuk budaya
kontemporer yang lahir melalui kreativitas anak bangsa, oleh karenanya budaya
tersebut pun patut dihargai dan diapresiasi.
Situ alay?
G49 mAS4LaH…!
*****
4 komentar:
hahhaaaa... nice post om....
salam,
Stylish Generation
makasih tante tia, salam juga ;)
bahasa alay merupakan kreativitas tingkat tinggi :)
betul bung, tapi sering kali kita tak menyadari atau tak mengakuinya. thanks for the comment ;)
Posting Komentar