Karl Marx: Nabi Kaum Proletar
dan Berbagai “Ramalannya” yang Tak Terbukti
dan Berbagai “Ramalannya” yang Tak Terbukti
Oleh:
Wahyu Budi Nugroho
--- Adam Schaff, seorang pakar marxis
asal Polandia, mengejutkan dunia dengan mengungkap wajah “Janus” Marx: Marx muda dan Marx tua. Menurutnya, Marx muda menjadikan
individu (manusia) sebagai titik tolak kajiannya, pemikirannya pun berdimensi
kritis, lebih jauh Marx muda turut dikenal sebagai sosok yang humanis. Berbeda
halnya dengan Marx muda, Marx tua dikenal dengan titik tolak pengkajiannya yang
berdimensi sosial (masyarakat), pemikirannya pun bersifat positivis, Marx tua
dikenal pula sebagai sosok yang radikal (konfrontatif). Perbedaan pemikiran
antara keduanya tampak melalui perbandingan seksama antara karya Marx tua—Manifesto Komunis dan Das Kapital—dengan karya Marx muda—Economic and Philosophical Manuscripts.
Lebih jauh, tulisan ini berupaya melakukan
telaah kritis atas pemikiran Marx tua yang bercorak positivis. Sebagaimana kita
ketahui, satu karakteristik utama yang begitu kentara dalam positivisme adalah keyakinan
bahwa fenomena sosial dapat diukur berikut diprediksi. Hal tersebut tak lepas
dari latar belakang kelahiran ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang kental dalam
nuansa renaissance ‘pencerahan’ Eropa
di mana rasionalitas (akal/budi) menjadi muatan utama yang dibawanya—penetrasi
ilmu-ilmu alam/eksakta dalam ilmu sosial-humaniora. Apabila penelaahan lebih
jauh dilakukan, maka ditemui bahwa sesungguhnya positivisme merupakan elaborasi
dari dua mahzab besar pencerahan Eropa, yakni rasionalisme dan empirisme.
Kembali pada ranah pemikiran Marx
yang bercorak positivisme—Marx tua, melalui “analisis ilmiah” yang dilakukannya,
setidaknya Marx mengungkapkan tiga hal yang bakal terjadi di kemudian hari,
antara lain; nasib buruh akan kian menderita, revolusi sosialisme-komunis bakal
digerakkan oleh para buruh negara-negara industri, berikut negara-negara
kapitalis yang pada akhirnya akan berubah menjadi negara bercorak sosialisme-komunis.
Lebih jauh, Marx menyusun serangkaian tahapan perubahan di atas, menurutnya
masyarakat bergerak sedari tahapan tradisional, menuju feodal, kemudian
kapitalis, dan pada akhirnya akan sama sekali berubah menjadi masyarakat dengan
corak sosialisme-komunis.
Anggapan (baca: “ramalan”) pertama
Marx terkait nasib buruh yang bakal kian menderita di kemudian hari agaknya tak
dapat dibenarkan. Pasalnya, pasca-Perang Dunia II dan diterapkannya konsep
ekonomi Keynesian, kapitalisme yang hadir kemudian adalah “kapitalisme dengan
wajah humanis”. Kapitalisme-humanis tak segan memberikan berbagai bentuk bonus
dan tunjangan bagi para pekerjanya; bonus akhir tahun, bonus hari besar,
tunjangan kecelakaan kerja, hari tua, dsb. Tak hanya itu saja,
kapitalisme-humanis turut menyuntikkan pop
culture ‘budaya pop’ guna mereduksi berbagai kontradiksi (pertentangan) yang
terjadi antara buruh dengan majikan. Melalui budaya pop, buruh dapat
menyambangi bioskop yang sama layaknya majikan, berpenampilan seperti majikan,
berikut serangkaian perihal lainnya yang kian mengaburkan pertentangan antara
keduanya.
Anggapan
kedua Marx, yakni revolusi sosialisme-komunis bakal digerakkan oleh para buruh industri,
faktual tak terbukti pula kemudian. Dalam kasus Revolusi Bolshevik 1917
misalnya, “revolusi merah” tak digerakkan oleh para buruh industri, melainkan para
buruh tani, begitu pula dengan revolusi merah yang terjadi di Cina dan Vietnam.
Anggapan ketiga Marx, berbagai negara kapitalis bakal berubah menjadi negara
sosialis-komunis, pada kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya, berbagai
negara kapitalis tak kunjung berubah menjadi negara sosialis, malahan berbagai negara
sosialis mengalami kebangkrutan di usianya yang masih “seumur jagung” dan bertransformasi
menjadi negara kapitalis, Rusia dan Cina misalnya. Kebangkrutan berbagai rezim
komunis dunia ditengarai oleh bertahannya sistem pemerintahan diktator
proletariat yang seyogyanya syarat berlaku sementara, yakni sekedar ditempatkan
sebagai pemerintahan transisi menuju masyarakat komunis yang “sama rasa-sama
rata”. Tak pelak, bertahan lamanya sistem pemerintahan diktator proletariat
mengamini pernyataan Lord Acton: “Power
tend to corrupt, and absolutes power corrupts absolutely”.
Harus
diakui memang, ramalan Marx mengenai kehancuran kapitalisme akibat overproduksi
sempat menemui relevansinya pada dekade 1930-an, ia mengemukakan hal tersebut
dalam Internasionale I untuk menjawab
pertanyaan seorang buruh perihal waktu yang tepat guna meletuskan revolusi
dalam rangka menghancurkan kapitalisme. Namun demikian kehancuran kapitalisme yang
dikenal dengan peristiwa Great Depression
tersebut—melanda Amerika Serikat dan berbagai negara Eropa—tak berlangsung lama
setelah seorang ekonom bernama John Maynard Keynes hadir ke permukaan dan
segera didaulat sebagai “dokter kapitalisme yang tengah sekarat”. Diakui atau
tidak, peristiwa terkait menunjukkan kemampuan kapitalisme dalam beradaptasi
terhadap konstelasi sosial, politik dan ekonomi yang tengah berlangsung,
sekaligus menyiratkan “kemandulan” pola pikir Marx tua yang bersifat
positivistik—gemar meramal masa depan.
*****
Referensi;
§
Fromm, Erich. 2001. Konsep Manusia Menurut Marx. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
§
Marx, Karl. 2004. Kapital (Buku I).
Jakarta: Hasta Mitra.
§
Zeitlin, Irving M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
5 komentar:
Dapat ilmu dari blog ente sob..
Happy blogging.. :)
makasih bung, thanks for ur appreciation, i do appreciate ;)
jawaban terbaik adalah tindakan
dan berkata2 pun termasuk tindakan bung, ditilik secara lokus kebahasaan ;)
Selama ada Kapitalisme ( monopoli kaum modal ), maka selama itulah ada Komunis, yang terilhami dari ajaran Marxisme.
Posting Komentar