Pemimpin
Populis, Nyata atau Mitos Belaka?
Wahyu
Budi Nugroho
Dewasa ini, wacana mengenai
kepemimpinan populis tengah digandrungi masyarakat. Bisa jadi, fenomena tersebut
tak lepas dari terlampau berlarut-larutnya kekecewaan masyarakat terhadap kepemimpinan
yang tak memihak dan memperhatikan nasib mereka selama ini, baik itu kepemimpinan
di ranah lokal maupun nasional. Dalam ranah lokal, sebut saja citra
kepemimpinan populis saat ini tengah tersemat pada walikota Solo, Jokowi yang hampir
dapat dipastikan memenangkan perebutan kursi DKI-1 melawan Fauzi Bowo
berdasarkan quick count ‘penghitungan
cepat’ yang digelar berbagai stasiun televisi nasional Kamis lalu (20/9). Sementara,
citra kepemimpinan populis dalam ranah nasional yang tengah mengemuka dewasa
ini agaknya tertuju pada Menteri BUMN, Dahlan Iskan yang sempat menyita
perhatian publik dengan serangkaian tindakan sensasionalnya. Bahkan, beberapa
waktu lalu terdengar rumor bahwa dirinya telah digadang salah satu partai besar
tanah air untuk maju mencalonkan diri sebagai wakil presiden dalam pemilu 2014
mendatang.
Harus diakui, tren masyarakat pada citra
kepemimpinan populis memang patut diapresiasi. Ini berarti, masyarakat telah melek terhadap kepemimpinan yang sama
sekali tak membawa perubahan bagi diri mereka atau sekedar membuahkan stagnasi.
Di sisi lain, hal ini turut menandakan bahwa masyarakat telah belajar untuk tak
begitu saja mempercayai buaian janji-janji calon pemimpinnya, melainkan
terlebih dahulu menyaksikan berbagai tindakan konkret yang telah ditunjukkan
sang calon pemimpin. Pasca Reformasi akhir dekade 1990-an, masyarakat menjalani
suatu tata pemerintahan lokal maupun nasional yang mandeg. Berdasarkan pengalaman empiris yang cukup panjang tersebut,
kiranya masyarakat merasa terlalu naif mengharapkan hadirnya sosok pemimpin
yang benar-benar populis dan mampu bertindak secara nyata. Perubahan dari satu aktor
pemerintahan pada aktor-aktor pemerintahan berikutnya dipandang tak lebih sebagai
reproduksi pribadi-pribadi yang sama, perbedaan sekedar terletak pada banyaknya
wajah-wajah baru yang nantinya ajeg
menghiasi portal berita politik lokal maupun nasional.
Berdasarkan berbagai persoalan di
ataslah kiranya kehadiran Jokowi dan Dahlan Iskan membawa angin segar berikut
secercah harapan yang dahulu telah lama terpendam bagi masyarakat Indonesia. Masyarakat
tanah air pun seolah larut dalam euforia kehadiran dua sosok ini, mereka
diberitakan dimana-mana dan berbagai tindakannya menuai sorotan-lebih oleh
media. Kedua sosok ini dinilai unik dan orisinal oleh masyarakat, berbeda
dengan para pemimpin lainnya atau sebelumnya yang dinilai “begitu-begitu saja”.
Namun, benarkah mereka betul-betul populis? Dalam artian, benar-benar membela hak-hak
dan kepentingan rakyat?
Apabila kita menilik berbagai
pemberitaan media dewasa ini, agaknya kepopulisan mereka saat ini benar-benar
nyata. Tetapi, satu hal yang perlu kita ingat, kenyataan tidaklah akan selalu
menjadi kenyataan di kemudian hari, bisa jadi ia berubah menjadi mitos, dan
begitu pula sebaliknya: mitos berubah menjadi kenyataan. Ini artinya, sosok
calon pemimpin yang saat ini dikenal populis, bisa jadi esok berubah menjadi kaki-tangan
kepentingan asing (investor) atau lebih mendahulukan kepentingannya ketimbang
kepentingan masyarakat luas. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi calon pemimpin
yang saat ini dikenal kurang populis, esok justru dapat berubah menjadi
pemimpin yang sangat populis apabila diberi kesempatan untuk memimpin. Tegas dan
jelasnya, memilih pemimpin bagi rakyat tak ubahnya seperti membeli kucing dalam
karung.
Pertanyaannya, tidakkah ada suatu
instrumen yang dapat digunakan untuk menguji dan memastikan bahwa seorang
pemimpin atau calon pemimpin benar-benar populis? Jawabnya sederhana, kekuasaan
itu sendirilah yang menjadi alat penguji berikut penentunya. Sejauh ini, Jokowi
dapatlah dikatakan cukup sukses menduduki tampuk kekuasaan Solo-1, dalam arti, ia
tetap keluar sebagai sosok pemimpin yang populis pasca menduduki jabatan
tersebut, atau setidaknya mampu mempertahankan citra tersebut. Namun, kita
takkan pernah tahu apa yang bakal terjadi di Jakarta nanti, apabila KPUD telah
mengesahkan kemenangan Jokowi secara resmi sebagai gubernur baru DKI-Jakarta, mampukah
ia mempertahankan citra populis yang melekat padanya, ataukah deru berbagai proyek
pembangunan Jakarta bernilai milyaran rupiah justru menggerus dan merubah
sosoknya?
Di sisi lain, begitu pula dengan
Dahlan Iskan, sejauh ini ia dapat dikatakan cukup berhasil menjadi menteri
BUMN, namun apakah demikian halnya kala ia menjadi RI-1 atau RI-2 kelak? Nyatanya,
kita takkan pernah tahu sebelum dirinya benar-benar menduduki tampuk kekuasaan
tersebut. Di sini, tampaklah jelas bahwa kekuasaan menjadi instrumen ampuh guna
membuktikan populis-tidaknya seorang pemimpin atau calon pemimpin. Di satu
sisi, dapatlah dikatakan pula bahwa upaya pencarian pemimpin yang populis bagi
rakyat tak ubahnya seperti proses trial
and error atau “coba-coba”, kita takkan pernah tahu rupa sosok pemimpin
atau calon pemimpin yang kita pilih ke depannya. Satu hal yang pasti, dalam waktu
dekat ini hampir dipastikan Jokowi bakal diuji kembali untuk membuktikan benar-tidaknya
kepopulisan dirinya. Kita tunggu saja!
*****
1 komentar:
terbukti, kalau bapak joko benar2 pemimpin yang populis, mengerti keadaaan rakyatnya, aku ingin kelak jadi bapak joko dan bapak dahlan, slesai kuliah ini, bisa jadi pemimpin yang populis :)
Posting Komentar