Gelombang Radikalisme-Islam vis-à-vis Demokratisasi
di Era Globalisasi
di Era Globalisasi
Oleh: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos., M.A.
Penyebaran Fatwa Osama bin Laden Via
Media Massa Elektronik
Pascatragedi 11 September 2001,
Osama bin Laden menyerukan fatwa kepada seluruh muslim dunia untuk memerangi
Amerika Serikat beserta simbol-simbolnya dimanapun mereka berada (Abimayu,
2005: 37), kiranya fatwa tersebutlah yang kemudian menyebabkan aksi terorisme
di berbagai belahan dunia kian masif, terutama di Indonesia. Berikut catatan
khusus mengenai serangkaian aksi teror yang terjadi di Indonesia pascaperistiwa
11 September 2011 (Ikhwan, 2010: 64).
Year
|
Date
|
Boom Attacks
|
Victims
|
Suspected/Prosecuted
|
2001
|
23 Sep
|
Plaza Atrium Senen
|
6 injured
|
|
12 Oct
|
KFC in Makassar
|
None
|
||
6 Nov
|
Australian International School
|
None
|
||
2002
|
1 Jan
|
New Year Night
|
1 deaths
1 injured
|
|
12 Oct
|
Bali (1st)
|
202 deaths
300 injured
|
Amrozi, Ali Imron, Imam Samudra, dan Ali
Gufron (Ali Imron divonis hukuman seumur hidup, tiga lainnya divonis hukuman
mati).
|
|
5 Dec
|
McDonalds in Makassar
|
3 deaths
11 injured
|
||
2003
|
3 Feb
|
Central Police Office
|
None
|
|
27 Apr
|
Soekarno Hatta International Airport
|
2 deaths
8 injured
|
||
5 Aug
|
J.W Marriott (1st)
|
11 deaths
152 injured
|
||
2004
|
10 Jan
|
Palopo,
|
4 deaths
|
|
9 Sep
|
Australian Embassy
|
5 deaths
100 injured
|
||
12 Dec
|
Immanuel Church in Palu
|
None
|
||
2005
|
21 Mar
|
Ambon
|
None
|
|
28 May
|
Tentena
|
22 death
|
||
8 Jun
|
Pamulang,
|
None
|
||
1 Oct
|
Bali (second)
|
22 deaths
102 injured
|
||
31 Dec
|
Traditional market in Palu,
|
8 deaths
45 injured
|
||
2009
|
17 Jul
|
J.W Marriott & Ritz Carlton
|
Menilik serangkaian catatan teror di
atas, kiranya cukup sulit dibayangkan bilamana berbagai aksi teror tersebut sama
sekali tak berhubungan dengan konstelasi dunia internasional. Dalam hal ini,
saling keterkaitan tersebut dapat dibuktikan dengan fatwa Osama bin Laden untuk
memerangi simbol-simbol Amerika Serikat dimanapun berada, dengan berbagai
tempat yang menjadi sasaran aksi teror.
Apabila penelaahan lebih seksama
dilakukan, maka dapatlah dilihat bahwa Plaza
Atrium Senen merupakan simbol budaya hedonisme dan konsumerime masyarakat
Amerika Serikat berikut Barat—American dreams.
Di sisi lain, baik KFC, McDonalds, J.W Marriot dan Ritz Carlton
secara tegas dan jelas menunjukkan eksistensinya sebagai simbol-simbol
kapitalisme-Amerika Serikat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana
hal di atas menjadi mungkin, sedang wilayah Afghanistan dengan Indonesia
terpisahkan beribu-ribu mil jauhnya, dan sebagaimana kita ketahui bersama, jawabannya
terletak pada kemajuan teknologi informasi yang memungkinkan ter-tranmisi-nya
beragam informasi dari belahan dunia lain secara cepat.
Bisa jadi, komunikasi yang terjalin
antara kelompok radikal-Islam di Afghanistan dengan Indonesia berlangsung
secara tertutup melalui simbol-simbol yang sekedar diketahui kedua belah pihak.
Namun, hal tersebut turut dimungkinkan pula oleh berbagai siaran berita media
massa elektronik yang secara tak langsung justru menyampaikan
(menginformasikan) fatwa yang didengungkan Osama. Dalam hal ini, berbagai media
massa elektronik mengklaim bahwa penyampaian informasi yang mereka lakukan bersifat
netral dan berimbang, namun sebagaimana ungkap Iean Ang bahwa audiens bukanlah “subyek-subyek
yang kosong”, dalam arti, telah ditemuinya serangkaian nilai, norma berikut
pola pikir tersendiri dari audiens yang memungkinkannya menafsirkan segala
informasi yang datang secara otonom (Nugroho, 2004: 108). Bisa jadi, sebagian
audiens menerima informasi perihal fatwa Osama secara netral, namun tak menutup
kemungkinan pula hal tersebut menjadi sebentuk persuasi tersendiri bagi
sebagian yang lain. Ini bisa jadi disebabkan oleh informasi yang diterimanya
justru kian meneguhkan ideologi yang dianutnya, atau justru menginformasikan
bahwa “kolega-koleganya” nan jauh di sana telah menyatakan sikap tertentu
sehingga ia syarat mengikutinya.
Lebih jauh, dimensi globalisasi yang
demikian kentara pula di dalamnya tampak melalui naiknya pamor berikut
popularitas Osama bin Laden secara drastis di negeri-negeri muslim, terutama
Indonesia. Akibat beragam informasi yang diterima masyarakat negeri-negeri
muslim melalui citra satelit, sosok Osama kemudian menjadi simbol perlawanan
atas hagemoni Amerika Serikat bagi umat muslim di saentaro dunia. Tak hanya
sampai di situ, berbagai aksesoris mengenainya pun semisal kaos, poster berikut
berbagai film dokumenter yang mengulas perjalanan jihadnya pun tiba-tiba banyak
ditemui di negeri-negeri muslim, terutama Indonesia.
Pada ranah yang berlainan, “efek
Osama” di atas turut mempengaruhi berbagai kalangan yang kontra terhadapnya. Di
Indonesia misalnya, pascatragedi September Kelabu banyak seminar-seminar yang
digelar untuk mengulas berikut menanggulangi menyebarnya “efek Osama” di tanah
air. Umumnya, berbagai seminar tersebut digelar oleh kalangan Islam-revivalis,
liberal, berikut Islam-radikal nir-Kekerasan.
Begitu pula, apa yang lebih penting lagi adalah “latahnya” pemerintah Indonesia
yang segera menyusun Perpu No.1 Tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme,
kemudian disusul oleh Inpres No. 2 Tahun 2002 tentang penunjukan instansi
pemerintah yang berwenang untuk mengkoordinasikan tindakan memerangi teorisme
di mana kemudian melejitkan nama Densus
88 Antiteror (Abimayu, 2005: 136
& 224).
Imam Samudera dan Fenomena “Aku
Melawan Teroris!”
Pada tahun 2004, publik tanah air
dikejutkan dengan terbitnya buku karangan Imam Samudra (Abdul Aziz) yang
berjudul, Aku Melawan Teroris!. Buku
tersebut berisi berbagai tulisan Imam Samudra kala mendekam di penjara (rutan)
Provost Polda Bali yang antara lain berisi; autobiografi singkatnya semasa kecil
hingga remaja, perkenalannya dengan pemikiran Islam garis keras, manfestasi
politiknya mengenai Bom Bali yang dilakukannya bersama “kawan-kawan
seperjuangan”, berikut berbagai catatan kecilnya selama mendekam di rutan. Tak
pelak, buku yang diterbitkan oleh Jazera tersebut (Solo) dinilai demikian
provokatif dan kontroversial oleh banyak pihak sehingga dihentikan peredarannya
(baca: dibreidel) pascatiga bulan peluncuran perdananya.
Memang, bagian terpenting dari karya
Samudra di atas terletak pada manifesto politiknya mengenai “jihad” Bom Bali yang
berisi serangkaian pembenarannya atas aksi teror yang ia lakukan. Di sini,
pengkajian takkan difokuskan pada berbagai manifestasi politik tersebut,
melainkan lebih pada unsur-unsur intrinstik yang tersembunyi berikut tak
menjadi tema inti dalam penulisan buku terkait, yakni lebih pada catatan pengalaman
Imam Samudra akan persentuhannya dengan “bacaan-bacaan asing” serta dunia maya (internet)
yang sedikit-banyak mempengaruhi pola pikir berikut tindakannya.
Dalam tulisannya mengenai masa muda,
tepatnya ketika Imam Samudra duduk di bangku SMP, ia menceritakan perkenalannya
dengan tulisan Dr. Abdullah Azzam, pelopor lahirnya organisasi Al-Qaeda di Afghanistan,
yang berjudul Tanda-tanda Kekuasaan Allah
dalam Jihad di Afghanistan. Samudra (2004: 41) mengekspresikan kekagumannya
pada buku tersebut dengan menuliskannya sebagai berikut,
“Mereka yang sempat membaca buku itu, Insya Allah, akan
tergerak hatinya untuk berjihad mengangkat senjata ke Afghanistan. Tapi waktu
itu umurku masih 16 tahun, baru bisa membayangkan, menghayati, dan kemudian
melamun.”
Melalui pernyataan Samudra di atas, kiranya
dapat ditilik betapa pembacaannya pada buku karya Dr. Abdullah Azzam membentuk
pola pikirnya di kemudian hari. Kiranya, hanya mekanisme globalisasi-lah yang
dapat menghantarkan buku berbahasa asing tulis seorang tokoh nan jauh di sana dapat
tercetak berikut terpublikasi secara luas di tanah air hingga akhirnya sampai
di tangan Samudra kecil. Di dalamnya terdapat serangkaian proses semisal
perpindahan naskah, alih bahasa dan berbagai prosedur teknis lainnya yang mencirikan
salah satu karakteristik utama era globalisasi, yakni “perpindahan arus barang
secara cepat” berikut inrelevansi dimensi ruang dan waktu.
Pada kesempatan yang lain, Samudra
(2004: 100) menceritakan aktivitasnya dalam dunia maya sebagai berikut,
“Saat aku surfing
dalam lautan internet, kutemukan gambar bayi-bayi Afghanistan tanpa kepala dan
tangan. Mereka dibombardir pasukan salib Amerika dan sekutunya dengan
sangat-sangat brutal pada Ramadhan 2001. Itu saja telah menghambat aktivitasku.”
Hal di atas kiranya jelas
menunjukkan relasi antara afeksi pada diri Imam Samudra yang disebabkan oleh salah
satu instrumen globalisasi: internet. Di sisi lain, hal terkait turut
menunjukkan bahwa internet dapat pula menjadi media ampuh guna menyebarkan
semangat radikalisme-Islam. Sebagaimana gambar-gambar yang ditunjukkan Samudra,
agaknya hal tersebut mampu mengeksploitasi batin dan pola pikir mereka yang
melihatnya sehingga merasa “terpanggil” untuk melakukan jihad. Menyitir ungkap
Gramsci bahwa dalam setiap praktek hagemoni selalu terdapat ruang untuk
melakukan counter hagemoni, faktual dunia
maya tak sekedar berisi hal-hal yang berisfat anti-Transendensi, liberal,
pragmatis berikut kosmopolitan, tetapi juga dapat berisi berbagai hal yang berkebalikan
dengannya.
Lebih jauh, dalam bukunya, Samudra
turut menyertakan satu subbab yang berisi tentang langkah-langkah untuk
melakukan hacking (pembajakan via
dunia maya), ia pun mem-propaganda-kan tindakan tersebut pada para pemuda
muslim, tujuannya untuk mengganggu bahkan merusak sistem keamanan negara-negara
yang dicapnya kafir (Samudra, 2004: 265). Tak pelak, hal tersebut secara
eksplisit menunjukkan turut terjadinya perang di dunia maya antara kelompok
Islam-radikal dengan Barat selaku pengusung teknologi terkait sekaligus
pencetus era globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar