Senin, 09 Maret 2015

“HIJAB”: ANTARA RITUAL DAN KONSUMERISME

HIJAB”: ANTARA RITUAL DAN KONSUMERISME
~ Tulisan Terpilih Mahasiswa ~

Ilustrasi hijab: aquila-style.com

Oleh: Elisa Linda Yulia
Ketua Ikatan Mahasiswa Sosiologi (IMSOS) UDAYANA 2014/2015
Editor: Wahyu Budi Nugroho

Abstrak
Tulisan ini berupaya memaparkan pergeseran makna “hijab” (jilbab) di era kontemporer. Tema terkait dirasa menarik mengingat dewasa ini praktek komodifikasi agama (jual-beli agama) menjadi fenomena yang tengah menggejala secara luas dalam masyarakat tanah air. Hubungan yang tampak akrab antara hijab dengan dunia fashion kiranya menimbulkan pertanyaan yang cukup mengusik, apakah hijab mampu mempertahankan “makna awalnya” setelah bersentuhan dengan dunia fashion. Begitu pula, bagaimana motivasi para pengguna hijab setelah ditemui banyaknya komunitas hijab yang menawarkan hijab dengan beragam bentuk dan model, masihkah penggunaannya didasarkan pada motivasi agamis, ataukah sekedar fashion semata. Lebih jauh, tulisan ini berupaya mengkaji berbagai persoalan tersebut.

Kata kunci; hijab, fashion, konsumerisme.

Pendahuluan : Mendefinisikan Hijab
Secara etimologis, kata “hijab” (Al-Hijab) berasal dari bahasa Arab yang artinya “menutupi”. Istilah ini juga sering dijelaskan sebagai, “segala sesuatu yang menghalangi kedua belah pihak”, atau dengan kata lain, “suatu benda yang menghalangi penglihatan terhadap orang lain”. Sebagai misal, ditemuinya tembok atau tirai penghalang bagi kedua belah pihak yang tengah berinteraksi sehingga antarsatu sama lain tidak dapat saling berpandangan (Ramadhan, 2012). Berdasarkan pendefinisian tersebut, setidaknya terdapat dua pengertian tersurat mengenai hijab: Pertama, hijab sebagai instrumen yang menutupi sesuatu; dan Kedua, hijab sebagai instrumen yang memisahkan sesuatu. Dalam pembahasan ini, istilah hijab yang dimaksud lebih pada pengertiannya yang pertama, yakni hijab sebagai penutup aurat, atau yang selama ini lebih dikenal sebagai “jilbab” atau “kerudung”.[1]
Tidak dapat dipungkiri, selama ini jilbab begitu lekat dengan simbol agama Islam. Mereka—wanita—yang berjilbab seolah meneguhkan identitasnya sebagai muslimah[2] yang taat. Memang, secara doktriner, agama Islam mewajibkan setiap wanita yang telah dewasa untuk mengenakan jilbab dengan alasan-alasan tertentu, salah satunya untuk “menjaga kehormatan” mengingat rambut wanita ditempatkan sebagai “perhiasan” dalam agama Islam. Meskipun memang, dewasa ini turut ditemui berbagai upaya untuk menafsirkan kembali kewajiban penggunaan jilbab, terutama wacana-wacana yang dilancarkan oleh kelompok Islam moderat maupun Islam liberal, namun demikian, terlepas dari diskursus seputar wajib-tidaknya penggunaan jilbab, kiranya jilbab tetap ditempatkan sebagai instrumen yang memiliki “makna khusus” dalam agama Islam, bahkan telah menyentuh dimensi ritual[3] dari agama terkait.
Lebih jauh, muatan ritual yang terkandung dalam jilbab dapat dilihat melalui tata cara berpenampilan yang telah ditentukan agama ini. Dalam hal ini, selain wanita tidak diperkenankan menggunakan pakaian yang menunjukkan lekuk tubuh (ketat) dari pundak hingga kaki, ia juga diharuskan (baca: direkomendasikan) menggunakan penutup kepala, yakni hijab. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa hijab memiliki dimensi “kesakralan” tertentu, ia tidak bisa ditempatkan secara profan seperti instrumen atau benda-benda lainnya dalam Islam mengingat telah menjadi bagian dari aturan atau rekomendasi agama. Akan tetapi patut disayangkan, dewasa ini hijab mengalami pergeseran makna, dari instrumen yang bersifat sakral menuju pada keberadaannya yang bersifat profan di mana dimensi agamis darinya lambat-laun mulai tergerus. Kiranya, persoalan pergeseran makna hijab ini menjadi menarik mengingat merepresentasikan berbagai persoalan serupa yang tengah dihadapi, yakni bagaimana hal-hal yang seyogyanya bersifat sakral lambat-laun menjadi profan dikarenakan faktor-faktor eskternal yang melingkupinya. Lebih jauh, pembahasan ini tidak berada dalam kerangka kajian agamis, melainkan sosiologi budaya. Meminjam argumen Max Weber bahwa jika segala sesuatunya telah mengalami “desakralisasi”[4], maka tidak ada lagi yang menarik sekaligus menyentuh di dunia ini.

Dari Ritual ke Fashion
            Telah disinggung sebelumnya bagaimana jilbab menjadi bagian dari dimensi ritual agamis yang memiliki kualitas-kualitas metafisik. Pada ranah berlainan, derasnya laju rasionalisasi dan kapitalisasi seakan tidak bisa tidak turut mencaplok hal-hal yang bersifat sakral ke dalamnya, tak terkecuali hijab. Beralaskan argumen-argumen agamis, hijab kemudian dikomodifikasi atau diperjual-belikan untuk memperoleh profit. Hal ini tampak melalui keberadaan hijab sebagai tren atau fashion dewasa ini. Sebagaimana diketahui bersama, fashion bukanlah fenomena yang hadir begitu saja, melainkan suatu bentuk arus kebudayaan yang sengaja diciptakan dan memuat kepentingan-kepentingan tertentu, terutama dalam menggiring dan mengarahkan khalayak untuk “menggunakan” atau “tidak menggunakan” suatu produk kebudayaan.
            Berdasarkan penelisikan yang dilakukan, tercatat bahwa merebaknya penggunaan hijab di kalangan wanita muslim[5] tanah air dimulai sekitar tahun 2009, yakni ketika sosok Dian Pelangi, desainer muda tanah air, mampu mencuri perhatian lewat busana muslim rancangannya dalam perhelatan Jakarta Fashion Week. Tingginya animo publik terhadap berbagai hasil karyanya mendorong Dian mendirikan Hijabers Community pada tahun 2011. Melalui Hijabers Community inilah tren penggunaan hijab (jilbab) menjadi kian luas dan masif. Hijabers Community sendiri digadang-gadang memiliki misi memperkenalkan “hijab modis” bagi para remaja putri tanah air, sekaligus mengikis anggapan bahwa wanita pengguna hijab adalah kuno (Sartika, 2014).
Pasca berdirinya Hijabers Community, bermunculan banyak komunitas serupa di tanah air seolah hendak mengulang sukses Dian Pelangi. Harus diakui, menjamurnya komunitas hijab secara tidak langsung turut melipatganda “promosi” penggunaan hijab di kalangan remaja putri muslim tanah air. Namun pertanyaannya, sejauh mana berbagai komunitas ini memotivasi penggunaan hijab sebagai dimensi ritual yang sarat nilai-nilai agamis, dan bukannya demi orientasi profit semata?.

Hijab sebagai Fashion dan Berbagai Implikasi Negatifnya
            Kemunculan hijab modis seakan mampu “mendamaikan” antara dimensi ritual dengan penampilan. Dalam arti, terkikisnya anggapan “kuno” atau “tak gaul” bagi mereka remaja putri yang mengenakan hijab. Di satu sisi, motivasi pewacanaan penggunaan hijab oleh komunitas-komunitas hijabers pun masih dipertanyakan, apakah murni dakwah (motivasi agamis), ataukah orientasi profit (keuntungan ekonomi). Namun, apabila pemikiran kritis didayagunakan, maka agaknya dimensi profit berbagai komunitas hijabers lebih kentara ketimbang dimensi dakwah yang dibawanya.
            Lebih jauh, hal di atas disebabkan oleh beberapa hal; Pertama, eksistensi fashion sebagai perihal yang memang “sengaja” dimunculkan. Kedua, munculnya berbagai konstruksi yang sengaja diciptakan oleh berbagai komunitas hijabers, seperti “hijab modis”, “hijab gaul”, “hijab yang tak kuno”, dan lain sejenisnya. Ketiga, beragam konstruksi tersebut seakan menggiring publik untuk menggunakan model jilbab tertentu, dalam hal ini, jilbab yang diproduksi oleh komunitas hijabers. Keempat, digunakannya media sosial (internet) secara masif sebagai sarana promosi hijab ala komunitas hijabers. Penggunaan media sosial secara masif ini kian menunjukkan secara jelas kuatnya muatan kepentingan ekonomi komunitas hijabers untuk mengarahkan opini publik terhadap produk yang dihasilkannya. Melaluinya, komunitas hijabers seolah membuat dikotomi antara “jilbab modern dengan jilbab kuno”, “jilbab bagus dengan jilbab jelek”, serta “jilbab layak-pakai dengan jilbab tak layak-pakai”.
            Kekhawatiran banyak pihak akan implikasi negatif dari tren hijab ini pun terbukti. Beberapa waktu lalu, publik dunia maya dihebohkan oleh perbincangan seputar munculnya fenomena jilboobs. “Jilboobs” adalah julukan bagi mereka yang berhijab namun turut menunjukkan lekuk (baca: kemolekan) tubuh. Fenomena jilboobs menyirat penampilan “setengah agamis dan setengah non-agamis”. Hal ini tentu berdampak pada kacaunya simbol-simbol agamis mengingat “yang sakral” telah bercampur dengan “yang profan”. Bahkan, apabila ditilik secara seksama, dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya gaya berpenampilan jilboobs sama sekali telah kehilangan dimensi agamisnya. Hal tersebut dikarenakan tidak terpenuhinya satu persyaratan dalam berbusana agamis yang baik dan benar, sehingga dapat menggugurkan keseluruhannya. Perlu ditegaskan sekali lagi kiranya, kemunculan fenomena jilboobs ini berkaitan erat dengan pengonstruksian hijab sebagai fashion sehingga memungkinkan munculnya modifikasi-modifikasi jilbab yang justru menjauh serta menyalahi dari aturan (pakem) semula.
            Implikasi negatif hijab sebagai fashion berikutnya adalah munculnya jiwa konsumtif pada remaja putri muslim tanah air. Sebagaimana diketahui, tren atau fashion adalah sesuatu yang bersifat dinamis, selalu berubah, dan memiliki daya persuasif bagi mereka yang menyaksikannya. Dengan ditempatkannya hijab sebagai fashion, maka dapatlah dikatakan bahwa mode (bentuk-bentuk) hijab pun akan selalu berubah, mengalami modifikasi, serta mengalami perkembangan model dan rupa yang tidak terkira. Pada akhirnya, pemakaian hijab pun akan sebatas pada tren/fashion, bukannya sebagai kewajiban agamis yang memang telah digariskan. Apabila telah demikian, maka konsumsi (pemakaian) hijab pun akan lebih terpaku pada “simbol”, antara lain simbol kemodisan, simbol kemodernan, simbol melek fashion, dan berbagai simbol keduniawian lainnya. Dengan kata lain, hijab yang digunakan bukanlah hijab yang berasal dari “dalam” (hati), melainkan sekedar tampilan luar yang kosong dan telah kehilangan makna. Dengan demikian, tidak ada lagi yang tersisa kecuali konsumerisme, hasrat untuk membeli dan terus membeli.
Di sisi lain, persoalan di atas pernah pula dibahas oleh Jean Baudrillard dalam Masyarakat Konsumsi (2009), yakni bagaimana manusia sekarang lebih terpacu mencari ketenangan batin dari luar dan bukannya dari dalam. Sebagai misal, bagaimana individu saat ini merasa menjadi penganut agama yang taat apabila menggunakan pakaian serba baru dalam upacara atau perayaan-perayaan keagamaan. Begitu pula, bagaimana individu merasa menjadi penganut agama yang baik apabila telah menggunakan produk-produk berbau agamis, seperti minuman dan makanan berlabel agamis, handphone dengan aplikasi-aplikasi agamis, bahkan hingga layanan “paket pesan singkat” para pemuka agama yang berisi nasehat-nasehat agamis di mana sesungguhnya semua itu menunjukkan bentuknya sebagai upaya komodifikasi agama atau “jual-beli agama”.

Kesimpulan
            Berbagai uraian singkat di atas kiranya telah menunjukkan secara jelas terjadinya pergeseran makna hijab di era kontemporer, yakni, dari instrumen atau atribut yang awalnya bersifat sakral (agamis), menjadi atribut yang bersifat profan (sekedar duniawi), yakni menemui bentuknya sebagai fashion semata. Lebih jauh, penempatan hijab sebagai fashion pun memunculkan beberapa implikasi negatif, antara lain: Pertama, ditemuinya bentuk-bentuk hijab yang justru menjauh dan menyalahi dari aturan hijab semula; Kedua, tergenjotnya jiwa konsumerisme wanita muslim tanah air akibat terjebak pada “pengonsumsian simbol-simbol” penggunaan hijab yang selalu berkembang dan mengalami inovasi. Fakta sosial tersebut menunjukkan betapa tipisnya benang pemisah antara praktek atau ritual keagamaan dengan konsumerisme. Dalam konteks ini, dapatlah disimpulkan bahwa “hati yang behijab” kiranya lebih baik daripada fisik yang berhijab namun tanpa makna.  


*****


Daftar Pustaka

Buku;
Baudrillard, Jean, 2009, Masyarakat Konsumsi, Kreasi Wacana.

Internet;
Ramadhan, Haifa, 2012, Meluruskan Kembali Makna Hijab, http://www.suara-islam.com/read/index/5194/Meluruskan-Kembali-Makna-Hijab (diakses pada 03 Maret 2015).



[1] Selanjutnya akan digunakan kata “hijab” atau “jilbab” untuk menyederhanakan uraian.
[2] Julukan bagi wanita Islam, sedangkan bagi pria Islam: muslim.
[3] Tata cara keagamaan atau tata laku beragama.
[4] Hilangnya kesakralan sesuatu secara berangsur-angsur.
[5] Terutama remaja putri atau pemudi Islam tanah air.

4 komentar:

  1. Dalam kajian etnologi, jilbab itu merupakan budaya persia, diasimilasi oleh agama islam menjadi suatu kewajiban bagi muslimah.
    Tidak hanya jilbab yg menjadi atribut agama yg dikomersilkan, peci, sarung, tasbih, dsb. Bahkan batu akik pun mengalami desakralisasi. Sebelum booming, yg pake batu akik distereotipekan memiliki kekuatan mistis, aura dsb, sekarang orng pake batu akik berorientasi pada fungsi estetis. Demikian halnya jilbab.
    Sejalan dengan apa yg dikatakan popper bahwa beragama itu mahal, tdk gratis. Hrs cukup kaya utk bisa menjalankan fungsi sosial di dalam agama.

    BalasHapus
  2. tengs buat komentarnya, ciamik. apalagi bagian "beragama itu tidak murah". siiiip

    BalasHapus
  3. menurut saya tanda konsumerisme hijab yg meroket ditandai juga hadirnya toko-toko fashion hijab online (ecommerce) baru sejak 2011. bisnis-bisnis skala UMKM yang dijalankan oleh generasi millenial.

    BalasHapus