"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Kamis, 09 Juni 2011

Membongkar Cara Kerja Iklan

Membongkar Cara Kerja Iklan
[Media Iklan dalam Perspektif Sosiologis]

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Denzin: “Sumpah” para Kapitalis
Denzin, salah seorang sosiolog yang banyak menaruh perhatian terhadap perkembangan media massa mengemukakan bahwa sesungguhnya para kapitalis telah “bersumpah” bakal memasarkan berbagai produk konsumtifnya melalui “segala cara”. Kiranya, ilustrasi konkret perihal terkait dapat kita temukan dalam sebuah film popouler Hollywood, James Bond-007. Apabila kita menilik film tersebut dengan seksama, maka ditemui bahwa berbagai barang yang dikenakan James Bond adalah “produk-produk bermerk”; jam tangan Tissot, jas Armani, mobil BMW, dan lain sebagainya. Bahkan, secara jenaka para ilmuwan sosial membuat anekdot (baca: “plesetan”) dari filmnya yang berjudul, Die Another Day menjadi, Buy Another Day. Dalam hal ini, apa yang berupaya dilakukan para kapitalis adalah menyentuh alam bawah sadar (kognitif) para audiens sehingga tak mengherankan apabila seusai menyaksikan film tersebut para penonton berhasrat memiliki barang-barang yang digunakan James Bond…

Mark Granovetter: Manipulasi Struktur Sosial
Salah seorang pakar sosiologi ekonomi kenamaan, Mark Granovetter menegaskan bahwa para kapitalis kerap menciptakan “manipulasi struktur sosial” sebagai side effect ‘efek samping’ dari berbagai produk yang ditawarkannya melalui berbagai media iklan. Sebagai misal, pernahkah kita berpikir dampak yang ditimbulkan dari iklan shampo antiketombe? Jawabnya: mereka yang berketombe dikucilkan oleh masyarakatnya. Begitu pula, pernahkah kita memikirkan implikasi dari iklan produk pencerah/pemutih wajah atau kulit? Mereka yang berwajah “kusam” atau berkulit gelap seolah menempati “kasta” yang lebih rendah ketimbang mereka yang tidak dalam lingkungan pergaulan sosialnya.     


Herbert Marcuse: One Dimensional Society
Istilah one dimensional society ‘masyarakat dengan kesadaran satu dimensi/tunggal’ dicetuskan Herbert Marcuse guna mendeskripsikan kehidupan masyarakat modern yang kehilangan (tumpul) daya kritisnya. Apa yang dimaksudkan Marcuse adalah, mudahnya masyarakat modern terbujuk oleh berbagai macam produk konsumtif kapitalis sehingga satu-satunya “kesadaran” yang dimilikinya (terbentuk) adalah kesadaran yang dikonstruksi oleh beragam media iklan yang diciptakan para pemilik modal.

Sebagai misal, kapitalis akan menggunakan varian kalimat seperti; “Anda yang tak menggunakan produk ini adalah kuno”, “Anda yang tak memakai barang keluaran terbaru kami dapat dikatakan ketinggalan zaman”, dan lain sejenisnya. Dan, bagi mereka yang termakan oleh berbagai kalimat bujukan di atas, kiranya dapat terklasifikasikan ke dalam manusia/masyarakat dengan kesadaran tunggal.

Jean Baudrillard: “Hiperrealitas” dalam Iklan
Satu hal yang begitu kental dalam media iklan menurut Jean Baudrillard adalah muatan “hiperrealitas” yang dibawanya. Istilah hiperrealitas menunjuk pada segala hal yang bersifat “melampaui realitas”. Ianya tak lebih dari sekedar “kebohongan semata” menurut Baudrillard. Sebagai misal, sebuah iklan produk parfum yang apabila seorang pria memakainya maka seluruh wanita seisi kota bakal mengikutinya, faktual tidaklah demikian senyatanya. Hal tersebut sekedar menemui bentuknya sebagai perihal yang melampaui kenyataan, irasional dan khayal semata. Semisal lain adalah iklan suplemen vitamin yang seketika dapat menjadikan anak pintar dan berprestasi. Bagi Baudrillard, persoalan hiperrealitas media iklan tak lepas dari “simulakra” yang berperan sebagai ruang konversi hal-hal “konkret” menjadi “abstrak”, dan begitu pula sebaliknya (“abstrak” ke “konkret”).       


*****


Referensi:
  •     Adian, Donny Gahral. 2006. Percik Pemikiran Kontemporer. Bandung: Jalasutra.
  •     Agger, Ben. 2006. Teori Sosial Kritis. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  •     Baudrillard, Jean P. 2009. Masyarakat Konsumtif. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  •    Granovetter, Mark-Swedberg, Richard. 1992. The Sociology of Economic Life. San Francisco/Oxford: Westview Press.
  •     Jay, Martin. 2009. Sejarah Mahzab Frankfurt. Yogyakarta: Kreasi Wacana.



6 komentar:

Ardi al-Maqassary mengatakan...

Kajian yang sangat mendalam........

Wbn mengatakan...

terima kasih, mas ardi. salam kenal.

AGUS SOETOPO mengatakan...

ulasannya tajam dan tepat. nuwun sewu pak, ijin tumut ngangsu kaweruh.t.ksh.

Wbn mengatakan...

matur sembah nuwun pak agus sutopo, sumonggo sekeca aken... ;)

Hiben Meilendi mengatakan...

tulisannya sangat menarik mas,jadi apa yang harus dilakukan dalam menanggapi perihal tersebut? masyarakat seakan terbius oleh iklan, dan iklan membanjiri di segala arah..apa yang harus kita lakukan untuk menghadi masalah ini??

Wbn mengatakan...

terima kasih mas. satu hal termudah yang bisa dilakukan u/melawannya sebagaimana diungkapkan chomsky: "mempertahankan diri secara kritis" :)

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger