Indonesia
Negeri Utopian
Oleh:
Koko Wijayanto
Universitas Gadjah Mada
Editor: Wahyu Budi Nugroho, S.Sos
Telah banyak dicitrakan oleh media masa akhir-akhir ini mengenai
berbagai masalah di negara ini. Mulai dari kasus politik, korupsi, kemiskinan,
hingga eksploitasi sumber daya alam. Kiranya, tak mengupas lebih dalam mengenai kasus yang saat ini tengah populer diperbincangkan, perlu disadari bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan budaya, sumber daya dan pesona alamnya. Berdampingan
dengan itu, dapat dilihat secara umum kemiskinan merajalela, kekacaun berikut
tindak kriminal terjadi dimana-mana, seakan tidak mencerminkan bangsa yang kaya
serta ramah sebagaimana tradisi budayanya.
Sebagian besar orang berpendapat, bahwa kegagalan bangsa saat
ini disebabkan oleh beberapa kebijakan pemerintahan yang kurang sesuai dengan
realitas lapangan. Mungkin kurang sesuai menempatkan pemerintahan sebagai
faktor utama kegagalan bangsa. Pasalnya, pemerintah tidak dapat dianggap melanggar
kebenaran profesinya, jadi ia pun tak melanggar kepentingan kelas sosialnya. Perlu disadari bersama
bahwa peran berbagai kalangan lebih penting serta sangat dibutuhkan untuk
merubah nasib bangsa Indonesia dari keterpurukan.
Seakan kehilangan makna, Institusi pendidikan, khususnya
perguruan tinggi mendapat sorotan hangat. Sebagai puncak wahana pencetak kaum
intelektual juga generasi terpelajar guna menengahi permasalahan bangsa saat
ini, peran agen of change seakan
meredup. Perguruan tinggi dirasa telah kehilangan kultur akademik yang sehat
dalam metode pembelajarannya sehingga peran kaum terpelajar di Indonesia seakan
pudar dimakan oleh perkembangan jaman.
Sangat disayangkan jika problem bangsa saat ini dititikberatkan
pada beberapa agen intelektual seperti mahasiswa, LSM dan lain sebagainya. Hal
yang perlu diyakini untuk merubah nasib bangsa ini adalah solidaritas bersama.
Dengan kata lain, permasalahan bangsa yang ada saat ini adalah tanggung jawab
bersama.
Melihat dari aspek sejarah, respon Tan Malaka mengenai bangsa
Indonesia di masa sebelum kemerdekaaan selayaknya dapat
dijadikan pembelajaran bagi bangsa Indonesia saat ini.[1] Dalam
tulisannya, ia membeberkan kekayaan besar Indonesia dengan kemiskinan parah dan
kelaparan mayoritas rakyatnya.[2] Seakan seperti
keberulangan, hal ini muncul kembali pada bangsa yang
pernah di juluki sebagai “Macan Asia” ini.
Sebenarnya, semua pihak dapat berkecimpung langsung dalam
perubahan. Untuk memahami kaum intelektual sebagai agen of change, pendekatan ini berakar dari pemikiran Antonio
Gramsci. Gramsci menyatakan bahwa “Semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang
mempunyai fungsi intelektual dalam masyarakat”.[3] Setelah memahami peran yang begitu penting dalam
pelaksanaannya, intelektual kritis harus mampu melepaskan diri dari hegemoni[4] elite kuasa
yang sedang memerintah dan mampu memberikan “alternatif” bagi proses
pemerdekaan.[5]
Dapat ditarik kesimpulan bahwa peran semua kalangan sangatlah
diperlukan untuk menyudahi berbagai problem yang menindas
mereka. Bersamaan dengan itu, mereka dapat merubah kelas
mereka sendiri ke arah yang lebih baik dengan
beberapa inisiatif yang tepat. Dalam hal yang sama, upaya yang dilakukan untuk
mewujudkan perubahan harus didasari dengan motivasi bersama.
Untuk mencapai kemakmuran bangsa, tentu peran para intelektual
berada dalam posisi sentral yang bebas dalam berkreasi. Dalam artian, para
intelektual mempunyai ruang gerak dengan menjalankan peranannya langsung dalam
masyarakat. Hal ini bertujuan guna memberi ruang lingkup mereka dalam
berinisiatif dan inovatif merespon permasalahan yang terjadi. Di lain sisi, Salah besar jika menggantungkan nasib
kesejahteraan kepada pemerintah. Kendati demikian dapat ditarik kesimpulan,
bahwa tingkat kesejahteraan dapat diwujudkan dengan upaya bersama, bukan dengan
mengandalkan kaum elit politik yang berkuasa maupun pihak-pihak tertentu saja.
[1] Menulis sebuah artikel
yang di terbitkan surat kabar ISDV “Het Vrije Woord”, edisi 27 Maret 1920.
[2] Helen Jarvis, Tan Malaka PEJUANG REVOLUTIONER atau MURTAD?,
Penerbit Cermin, Yogyakarta, h. 4.
[3] Lihat Antonio Gramschi,
1971. Selection From Prison Notebooks of
Antonio Gramschi, disunting dan diterjemahkan oleh Quintin Hoare dn
Geoffrey Nowell Smith, International Publishers, New York, USA. Hlm. 8-7.
[4] Hegemoni: Keadaan dimana terdapat taraf kebebasan rendah
dan partisipasi politik yang tinggi.
[5] Arizal Mutahir, Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu; Sebuah
Gerakan Untuk Melawan Dominasi, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011, hlm. 5-6.
0 komentar:
Posting Komentar