Ketika
Filsuf Bicara Kematian
Kematian
membuat seseorang menjadi “is”/”adalah”…
Sartre meyakini bahwa kehidupan manusia ibarat
lukisan. Sebagaimana kita ketahui, lukisan belumlah dapat dinilai sebelum selesai.
Bagi Sartre, baik ataukah buruk seorang manusia tak dapat dinilai atau
ditentukan selama manusia itu masih hidup (dalam bahasa eksistensialis:
“mengada”). Menurutnya, selama entitas individu masih hidup, ia sematalah yang
berhak mendefinisikan dan menilai siapa dirinya. Hal tersebut mengingat setiap
manusia berada pada “penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang”. Tegas
dan jelasnya menurut Sartre, setiap detik, menit, jam, hari dan seterusnya,
manusia memiliki kebebasan penuh untuk merubah dirinya. Sebagai misal, bisa
jadi saat ini saya adalah seorang yang anti-Tuhan, namun siapa sangka jika esok
hari saya “bertaubat” dan menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan
kemarin: menjadi alim lagi religius. Tak pelak, hal tersebut menggugurkan penilaian
orang lain atas diri kita saat ini juga, kemungkinan selalu terbuka lebar bagi
diri kita untuk menjadi manusia yang sama sekali berbeda di setiap detik,
menit, jam atau hari yang kita lalui—I am no longer I am.
Bagi Sartre, layaknya lukisan yang baru dapat
dinilai setelah selesai, manusia barulah dapat dinilai dan dilabelkan orang
lain setelah “proyeknya selesai” (baca: mati), yakni ketika ia tak lagi berada
pada penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang. Menurutnya, kematian
tersebut menjadikan manusia sebagai “is”/“adalah” mengingat penciptaan dirinya
telah rampung (mapan). Oleh karenanya, dapatlah dimaklumi apabila pascaindividu
meninggal beragam penilaian orang lain atasnya bakal mengalir deras; “Si A adalah…”, “Si B adalah…”, dsb.
Kematian
sebagai jalan menuju “keabadian”…
Sekilas, argumen filsuf berikut mengenai
kematian menemui kemiripannya dengan doktrin agama akan kehidupan setelah mati
(doktrin eskatalogis), yakni permulaan menuju kehidupan abadi. Adalah Foucault,
filsuf asal Perancis selaku pelontar argumen tersebut. Namun demikian, apa yang
dimaksudkannya faktual jauh berbeda dengan doktrin eskatalogis sebagaimana
kerap kita dengar. Apa yang dimaksudkan Foucault adalah, layaknya
periode-periode awal perkembangan masif dunia kedokteran Eropa pada abad 15-18,
tubuh-tubuh yang tak lagi bernyawa mulai menjadi objek studi/praktek para dokter. Tak pelak, tubuh-tubuh tersebutlah yang sesungguhnya paling berjasa bagi pesatnya
perkembangan dunia kedokteran kala itu.
Melalui perihal di atas, agaknya dapat ditilik secara
jelas betapa kematian “berjasa” bagi peningkatan kualitas hidup umat manusia di
kemudian hari. Melalui jasad yang mati akibat suatu penyakit atau wabah, para
dokter melakukan studi seksama atasnya, kemudian menyusun suatu formula (baca:
obat) guna menangkal terulangnya kejadian serupa di kemudian hari. Dapatlah
dibayangkan, betapa satu atau dua tubuh yang tak bernyawa mampu menyelamatkan
ratusan bahkan ribuan jiwa lainnya yang masih hidup. Itulah mengapa, Foucault
mendaulat kematian sebagai jalan menuju keabadian manusia—akibat
mereka yang telah tiada, kita masih dapat hidup dan “beranak-pinak” hingga hari
ini.
*****
Referensi:
Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fillingham, Lydia Alix. 2001. Foucault untuk Pemula. Yogyakarta:
Kanisius.
0 komentar:
Posting Komentar