"To revolt today, means to revolt against war" [Albert Camus]

 

Blog ini berisi working paper, publikasi penelitian, resume berikut review eksemplar terkait studi ilmu-ilmu sosial & humaniora, khususnya disiplin sosiologi, yang dilakukan oleh Wahyu Budi Nugroho [S.Sos., M.A]. Menjadi harapan tersendiri kiranya, agar khalayak yang memiliki minat terhadap studi ilmu-ilmu sosial & humaniora dapat memanfaatkan berbagai hasil kajian dalam blog ini dengan baik, bijak, dan bertanggung jawab.


Minggu, 23 Oktober 2011

Ketika Filsuf Bicara Kematian

Ketika Filsuf Bicara Kematian

Oleh: Wahyu Budi Nugroho


Kematian membuat seseorang menjadi “is”/”adalah”…
Sartre meyakini bahwa kehidupan manusia ibarat lukisan. Sebagaimana kita ketahui, lukisan belumlah dapat dinilai sebelum selesai. Bagi Sartre, baik ataukah buruk seorang manusia tak dapat dinilai atau ditentukan selama manusia itu masih hidup (dalam bahasa eksistensialis: “mengada”). Menurutnya, selama entitas individu masih hidup, ia sematalah yang berhak mendefinisikan dan menilai siapa dirinya. Hal tersebut mengingat setiap manusia berada pada “penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang”. Tegas dan jelasnya menurut Sartre, setiap detik, menit, jam, hari dan seterusnya, manusia memiliki kebebasan penuh untuk merubah dirinya. Sebagai misal, bisa jadi saat ini saya adalah seorang yang anti-Tuhan, namun siapa sangka jika esok hari saya “bertaubat” dan menjadi pribadi yang sama sekali berbeda dengan kemarin: menjadi alim lagi religius. Tak pelak, hal tersebut menggugurkan penilaian orang lain atas diri kita saat ini juga, kemungkinan selalu terbuka lebar bagi diri kita untuk menjadi manusia yang sama sekali berbeda di setiap detik, menit, jam atau hari yang kita lalui—I am no longer I am.

(Sartre)
Bagi Sartre, layaknya lukisan yang baru dapat dinilai setelah selesai, manusia barulah dapat dinilai dan dilabelkan orang lain setelah “proyeknya selesai” (baca: mati), yakni ketika ia tak lagi berada pada penciptaan diri yang terus-menerus dan berulang-ulang. Menurutnya, kematian tersebut menjadikan manusia sebagai “is”/“adalah” mengingat penciptaan dirinya telah rampung (mapan). Oleh karenanya, dapatlah dimaklumi apabila pascaindividu meninggal beragam penilaian orang lain atasnya bakal mengalir deras; “Si A adalah…”, “Si B adalah…”, dsb.

Kematian sebagai jalan menuju “keabadian”…
Sekilas, argumen filsuf berikut mengenai kematian menemui kemiripannya dengan doktrin agama akan kehidupan setelah mati (doktrin eskatalogis), yakni permulaan menuju kehidupan abadi. Adalah Foucault, filsuf asal Perancis selaku pelontar argumen tersebut. Namun demikian, apa yang dimaksudkannya faktual jauh berbeda dengan doktrin eskatalogis sebagaimana kerap kita dengar. Apa yang dimaksudkan Foucault adalah, layaknya periode-periode awal perkembangan masif dunia kedokteran Eropa pada abad 15-18, tubuh-tubuh yang tak lagi bernyawa mulai menjadi objek studi/praktek para dokter. Tak pelak, tubuh-tubuh tersebutlah yang sesungguhnya paling berjasa bagi pesatnya perkembangan dunia kedokteran kala itu.

(Foucault)
Melalui perihal di atas, agaknya dapat ditilik secara jelas betapa kematian “berjasa” bagi peningkatan kualitas hidup umat manusia di kemudian hari. Melalui jasad yang mati akibat suatu penyakit atau wabah, para dokter melakukan studi seksama atasnya, kemudian menyusun suatu formula (baca: obat) guna menangkal terulangnya kejadian serupa di kemudian hari. Dapatlah dibayangkan, betapa satu atau dua tubuh yang tak bernyawa mampu menyelamatkan ratusan bahkan ribuan jiwa lainnya yang masih hidup. Itulah mengapa, Foucault mendaulat kematian sebagai jalan menuju keabadian manusia—akibat mereka yang telah tiada, kita masih dapat hidup dan “beranak-pinak” hingga hari ini.   



*****


Referensi:
Sartre, Jean Paul. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fillingham, Lydia Alix. 2001. Foucault untuk Pemula. Yogyakarta: Kanisius.

0 komentar:

Posting Komentar

Facebook Connect

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger