Pergeseran Makna Celana Jeans
Oleh: Wahyu Budi Nugroho
Pada mulanya, celana jeans dikenakan kaum hippies sebagai identitas perlawanan mereka terhadap kapitalisme. Kaum
hippies sebagaimana kita ketahui,
menolak ideologi “kemapanan”[1]
dan terutama ketidakadilan sosial yang diciptakan sistem kapitalisme: si kaya kian kaya, dan sebaliknya dengan si miskin. Namun demikian, secara spesifik, komunitas hippies muncul sebagai respon atas kehidupan modern—kapitalisasi kehidupan—yang “mendegradasi”
nilai-nilai kemanusiaan. Konsep homo
economicus misalnya. Umumnya,
mereka hidup secara bebas dalam komunitas-komunitas kecil, tak ada aturan atau
hukum yang membelenggunya, agama mereka adalah love and peace ‘cinta dan perdamaian’, sedang ritual spiritualitas
mereka adalah ganja. Mereka menganggap, ketidaksadaran merupakan bentuk kedekatannya
terhadap Sang Pencipta.
Faktual, filosofi awal dari jeans menurut mereka adalah “celana seumur
hidup”. Jeans dengan teksturnya yang kuat diharapkan mampu bertahan selama
mungkin sehingga mereka tak perlu berulang kali membeli pakaian. Secara ekplisit,
hal tersebut menyiratkan pula penolakan mereka atas konsumerisme. Bahkan bagi
mereka, celana tersebut tetap layak pakai meskipun banyak bagiannya yang telah robek
(compang-camping)—sejauh pola
dari celana itu masih tampak. Namun sayang, pasca gerakan masif kaum hippies pada dekade 1960-an, industri
(kapitalis) melihat potensi pasar yang besar bagi celana jeans. Sejak saat itu,
jeans mulai masuk dunia industri, ia diproduksi dan diperdagangkan secara masif
dengan beragam merek-mereknya. Secara tak langsung, momen tersebut menandai
pula mulai terkooptasinya celana jeans oleh kapitalisme, dan tak pelak, celana
jeans pun mulai kehilangan makna aslinya semenjak itu.
Di tangan industri, jeans menjadi sebuah gaya hidup, bahkan kemudian ia mengandung
pula muatan jarak sosial, ilusi usia terutama—jeans merupakan identitas mereka
yang berjiwa muda. Tak hanya sampai di situ, industri pun menggenjot
konsumerisme anak muda, memaksa mereka membeli setiap produk terbarunya melalui
iklan-iklan yang diterbakan secara masif di berbagai stasiun televisi maupun banner-banner pinggiran jalan. Menilik fenomena
tersebut, jelaslah filosofi jeans tak lagi bermuatan celana seumur hidup,
melainkan “celana seumur jagung”.
Kini, sejumlah uang selalu siap kita
gelontorkan tiap kali melihat celana jeans apik terpampang di etalase-etalase
toko. Sadarlah, mentalitas kita tengah diuji!
*****
[1] Kemapanan di sini tak
sekedar berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga nilai dan norma sosial.
8 komentar:
Bagi saya, jeans tetap celana seumur hidup. Saya masih memakai celana jeans yang saya beli 3 tahun lalu, dan baru membeli satu tahun ini. :D
Mantab Bung! Anda pengguna jeans sejati!
Salam hangat dan salam kenal,
Wahyu BN ;)
enakan pake celana jins
lebih nyaman. dan coll
kereeeeeen dah pokoknya
manteb deh, dan klo bisa beli jeans buatan lokal. mending nyuburin kapitalisme pribumi ketimbang global ;)
untuk yang ingin belanja jeans/menjadi pengusaha jeans,
bisa belanja di tempat ini :
www.jeansindonesia.com
www.grossirjeans.com
info cepat dengan ym : ipoel.denim@yahoo.com
Maaf bung... Kalau boleh sedikit menambahkan, Juga memakai jeans adalah sebagai bentuk simpati terhadap kaum buruh yang tertindas... Trims
Jeans aksen koyak juga dapat sebagai bentuk simpati terhadap kaum buruh...
Winenlose88 | MASTER AGEN BETTING TERPERCAYA | DAPATKAN BONUS DEPOSIT AWAL 30% !!
MASTER AGEN BETTING TERPERCAYA
Daftar Agen Bola Online
Agen Bola Terbaik
Agen Judi Bola
Agen Judi Casino
Winenlose88 - Prediksi Brighton & Hove Albion vs Chelsea 20 Januari 2018
Winenlose88 - Prediksi Arsenal vs Crystal Palace 20 Januari 2018
Winenlose88 - Prediksi Burnley vs Manchester United 20 Januari 2018
Winenlose88 - Prediksi Foggia vs Pescara 20 Januari 2018
Winenlose88 - Prediksi Espanyol vs Sevilla 20 Januari 2018
Posting Komentar